Minggu, 18 Juli 2010

laporan mata kulyah perkebunan 1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Di Indonesia tanaman karet (Havea brasiliensis Mull. Arg) telah diusahakan sejak tahun 1876 dan tanaman karet telah berkembang sampai sekarang. Tanaman karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang memiliki peran yang cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Saat ini karet mampu memberikan sumbangan devisa untuk negara dalam jumlah terbesar jika dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya.
Tanaman karet mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Karet dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan sepatu karet, sabuk penggerak mesin, pembuatan ban kendaran. Selain itu dapat pula digunakan dalam pembuatan alat-alat rumah tangga seperti sandal, lem perekat barang, kursi, dan selang air. Sedangkan kayu dari tanaman karet yang telah tua dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan mebel (Boerhendhy 2006), Selain itu biji karet juga dapat diolah sebagai bahan dasar pembuatan cat (Haris, Baryono, Hermansyah dan Bagya, 1995).
Provinsi Jambi merupakan salah satu sentra produksi karet di Indonesia, menempati urutan ketiga penghasil karet terbesar di Indonesia. Wilayah pengembangan tanaman karet tersebar di sembilan kabupaten yang ada di Provinsi Jambi. Pada tahun 2006 produksi karet Provinsi Jambi mencapai 261.284 ton dan pada tahun 2007 produksinya menjadi 529.695 ton hal ini menunjukan produksi tanaman karet di Provinsi Jambi meningkat.
Perkebunan karet di Provinsi Jambi dibagi menjadi 3 yaitu perkebunan karet rakyat, perkebunan karet negara dan perkebunan karet swasta. Dari luas perkebunan yang ada di Provinsi Jambi, perkebunan karet rakyat merupakan perkebunan yang terluas yaitu 97,5 % dari luas keseluruhan, sedangkan luas perkebunan karet negara 0,83 % dan luas perkebuan karet swasta sebesar 1,66 % (Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, 2005).
Luas areal dan produksi tanaman karet menurut status pengusahannya di Provinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas areal dan produktivitas tanaman karet menurut status pengusahaannya di Provinsi Jambi pada tahun 2004 – 2006

Tahun Luas areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)
TBM TM
2004
2005
2006
2007 105.466
130.150
128.031
145.260 325.076
330.036
337.028
334.499 230.681
232.161
261.284
529.695 710
725
775
776
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Jambi
Keterangan : TBM (Tanaman belum menghasilkan)
TM (Tanaman menghasilkan)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa luas areal dan produktivitas karet mengalami peningkatan. Namun, dari sisi produktivitas yang dicapai masih rendah bila dibandingkan rata-rata hasil klon unggul yang mencapai 1.600 kg ha-1 per tahun (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2007).
Penyebab utama rendahnya produktivitas karet adalah : (1) banyaknya tanaman karet sudah berumur tua/rusak, (2) kurangnya pemakaian klon unggul, (3) kurang bahkan tidak melakukan pemeliharaan tanaman dengan baik, terutama pemupukan, (4) adanya serangan hama penyakit, terutama penyakit jamur akar putih, dan (5) jumlah tegakan atau populasi per hektar terlalu padat bahkan terdapat jenis spesies lain selain dari Hevea brasilliensis (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2007).
Setyamidjaja (2000) mengatakan, untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tanaman karet dimasa datang khususnya bagi perkebunan karet rakyat, berbagai upaya dapat dilakukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bibit- bibit klon unggul. Dalam perbanyakan tanaman karet dengan menggunakan teknik okulasi diperlukan batang bawah yang pertumbuhanya baik dan memiliki sifat-sifat yang unggul, yaitu yang memiliki ciri – ciri batang bawah yang berasal dari klon yang perakarannya baik, kuat, berkemampuan
Penyediaan bibit karet, termasuk penyediaan batang bawah untuk keperluan okulasi merupakan suatu faktor penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman karet. Batang bawah sangat menentukan penampilan batang atas, potensi maksimal atas hanya tercapai apabila batang bawah yang digunakan tepat (Kuswanhadi, 1992). Kesalahan penggunaan batang bawah dapat menurunkan produksi sampai 40 %. Umumnya batang bawah yang diinginkan selain mudah diperoleh dan seragam, juga mempunyai sifat tahan terhadap penyakit akar, mudah diokulasi dan memiliki kesesuaian (compatibility) yang tinggi dengan batang atas (Dijkman, (1951) diacu dalam Kuswanhadi, 1992).
Rendahnya produktivitas ini juga dikarenakan Provinsi Jambi di dominasi oleh tanah ultisol. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2005), Provinsi Jambi memiliki potensi tanah masam yang didominasi oleh Ultisol dengan luas 2.272.725 ha atau 44,56 % dari luasan Provinsi Jambi.
Jika dilihat dari luasnya, Ultisol sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan produktif untuk tanaman pertanian, namun untuk pemanfaatannya Ultisol mengalami beberapa kendala seperti sifat fisik dan biologi yang kurang baik, pH yang rendah, kandungan Al dan Fe yang tinggi serta rendahnya unsur hara makro (N, P, K) dalam tanah. Khusus unsur P tidak tersedianya dalam tanah masam akibat fiksasi Fosfat ion – ion Al dan Fe membentuk Al/Fe dan Fe/P, sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Menurut Buckman dan Brady (1982), pada tanah yang bereaksi masam yaitu tanah – tanah yang ber pH rendah (pH < 6) dimana P yang tersedia sangat sedikit, ion Al, Fe dan Mn akan mengikat P di dalam tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Ditambahkan oleh Hakim et al, (1986) bahwa, pada tanah masam ion P akan mudah bersenyawa dengan Al, Fe dan Mn sehingga membentuk senyawa P yang tidak dapat larut.
Selain itu perilaku unsur P di dalam tanah sangat kompleks dan senantiasa mengandung masalah terutama dalam hubungannya dengan tanaman. Pada sebagian besar tanah yang bereaksi masam kandungan P yang tersedia umumnya tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman tersebut. Untuk itu perlu penambahan unsur hara dari luar. Tetapi pada Ultisol, pemupukan P dosis tinggi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama menyebabkan terjadinya penimbunan residu P (Soepardi, 1983).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme yang bermanfaat salah satunya adalah cendawan Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) ke dalam tanah. MVA merupakan cendawan yang dapat bersimbiosis secara saling menguntungkan dengan tanaman, khususnya pada akar yang dapat membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara dan mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan untuk memacu serapan P dalam tanah serta memberdayakan timbunan residu P dan bentuk – bentuk P yang tidak larut alami (Santoso,1994).
Tanaman yang bermikoriza biasanya lebih baik daripada yang tidak bermikoriza. Hal ini diakibatkan karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan unsur hara mikro. Kehadiran mikoriza dalam tanah dapat meningkatkan efisiensi penggunan air oleh tanaman sehingga pemborosan air tanah dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi stress tekanan air, memperbaiki ketahanan tanaman yang resisten terhadap serangan penyakit, serta dapat menambah kesuburan tanah akibat dari kemampuan untuk mengekstrasi unsur-unsur hara yang diperlukan sehingga dapat menyediakan pupuk pada tanaman secara tidak langsung (Setiadi,1996)
Menurut Smith dan Read (1997), penggunaan MVA akan menguntungkan untuk dikembangkan pada tanah Ultisol, sebab MVA dapat mengakibatkan kemampuan tanaman melakukan penyerapan unsur – unsur yang tidak mobil dalam bentuk tidak tersedia di dalam tanah khususnya P. Hasil Praktikum Kartika (2006) menunjukkan bahwa Cendawan Mikoriza Akar (CMA) mampu meningkatkan penyerapan unsur hara terutama unsur P pada bibit kelapa sawit, hal ini didukung karena meningkatnya kadar enzim fosfatase asam di akar dan di tanah yang dihasilkan oleh CMA dan bibit tersebut.
Selanjutnya hasil Praktikum Nugroho et al (1996) menunjukan bahwa pemberian inokulan mikoriza sebanyak 10 gr per tanaman dapat meningkatkan serapan hara P dan tinggi tanaman jagung pada keadaan cekaman air. Kemudian dari hasil Praktikum Legiso (1999) menunjukan bahwa inokulasi ektomikoriza dan endomikoriza masing-masing sebanyak 2,5 g per tanaman ternyata berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabamg primer, berat 100 biji, berat kering tanaman dan bobot tajuk pada tanaman kedelai.
Dari hasil Praktikum yang dilakukan oleh Murniati (2000), pemberian cendawan MVA 50 gr/tan pada kadar air tanah 75 % kapasitas lapang didapatkan rasio tajuk akar dan berat kering yang terbaik. Sedangkan pada pemberian cendawan mikoriza pada kadar air 50 % kapasitas lapang didapatkan laju tumbuh relative dan laju asimilasi bersih yang terbaik pada tanaman cabai rawit. Menurut Siagian el al (1994) menyatakan bahwa kebutuhan air untuk bibit karet sebanyak 142,5 ml air/polybag dimana waktu pemberian air tiga hari sekali atau 47,5 ml air/polybag perhari menunjukan pertumbuahan karet yang lebih baik.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui respon tanaman karet terhadap pemberian MVA dan P.
2. Memenuhi syarat 1 SKS praktikum mata kuliah Budidaya Tanaman Perkebunan I.

1.3 Kegunaan Praktikum
Kegunaan dari Praktikum ini adalah untuk memberikan informasi dan pemikiran kepada para petani dalam usaha meningkatkan produktivitas dan mutu tanaman karet di masa datang khususnya bagi perkebunan karet rakyat

1.4 Hipotesis
1. Pemberian MVA dan pupuk Fosfor dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan bibit karet pada ultisol.
2. Terdapat dosis MVA dan pupuk Fosfor yang memberikan pertumbuhan bibit karet yang terbaik pada Ultisol.





II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tanaman Karet
Tanaman karet (Havea brasiliensis Mull. Arg), merupakan tanaman yang tergolong tanaman tahunan yang berbentuk pohon yang cukup besar. Menurut Tjitrosoephomo (1991) dalam dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika berikut :
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Dikotiledoneae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Havea
Spesies : Havea brasiliensis Mull. Arg.
Perakaran tanaman karet tersusun atas akar tunggang, akar lateral dan akar baru. Akar lateral pertumbuhannya menyebar ke segala arah. Ketiga akar ini adalah system dari tanaman yang berada pada bagian bawah permukaan tanah dan berperan besar dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Perkembangan perakaran tanaman pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu energi yang tersedia dalam jaringan tanaman dan keadaan lingkungan pertumbuhan akar. Pada mulanya pertumbuhan akar hanya terbatas pada daerah sekitar pohon setelah lebih dari lima tahun barulah akar mulai menyebar lebih jauh lagi dari pohon. Panjang akar tunggang mampu mencapai kedalaman 2 meter atau lebih, sedangkan akar lateralnya mampu menyebar hingga 20 meter atau lebih (Disbun, 1993).
Fungsi utama akar tanaman karet yaitu sebagai penopang berdirinya tanaman dan sebagai organ yang berfungsi dalam pengambilan air dan unsur hara dari dalam tanah. Akar merupakan organ tanaman yang memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman karet, maka dari itu akar tanaman karet harus tumbuh dengan baik agar dihasilkan tanaman yang baik. Kulit batang tanaman karet memiliki struktur anatomi seperti tanaman dikotil lainnya. Pada bagian kulit batang karet terdapat pembuluh latek, yang banyak mengandung getah atau latek.
2. 2. Syarat Tumbuh Tanaman Karet
2.2.1 Iklim
Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah topis yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona antara 150 LU dan 150 LS. Tumbuh sangat baik pada daerah antara 50 LU sampai 60 LS. Pada daerah dengan ketinggian antara 0 - 400 meter di atas permukaan laut tanaman karet dapat tumbuh dengan baik. tanaman karet membutuhkan curah hujan minimal 1500 mm/tahun dengan distribusi yang merata agar pertumbuhanya baik (Setyamidjaja, 1993).
Tanaman karet membutuhkan suhu harian berkisar 25-30oC. Tanaman karet juga membutuhkan setidaknya 5-7 jam penyinaran matahari, apabila lamanya penyinaran matahari kurang dari 5 jam maka akan menyebabkan rendahnya produktivitas yang dihasilkan (Disbun, 1993). Selain faktor curah hujan, penyinaran dan ketinggian tempat. Tanaman karet juga sangat dipengaruhi oleh angin, angin yang kencang pada musim-musim tertentu dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman karet yang berasal dari klon-klon tertentu yang peka terhadap angin yang kencang.

2.2.2 Tanah
Menurut Setyamidjaja (1993) tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah, akan tetapi tanah yang baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman karet adalah tanah jenis latosol, vulkanik dan alluvial. Tanah jenis vulkanis umumnya memiliki sifat fisika yang cukup baik. Sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet adalah sebagai berikut:
a. Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, dan tidak terdapat batu-batuan
b. Aerase dan drainase baik
c. Remah, porus dan dapat menahan air
d. Tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir.
e. Tidak bergambut, kandungan unsur hara N, P, K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro
f. pH tanah 4,5 – 6,5 dan kemiringan tanah tidak lebih dari 16% serta permukaan air tanah tidak kurang dari 100 cm.
2.3. Pembibitan Tanaman Karet
Pembibitan tanaman karet merupakan bagian dari kegiatan pembiakan tanaman karet, secara umum penyedian bibit karet untuk keperluan peremajaan maupun penanaman areal baru terdiri atas bibit asal biji dan bibit okulasi. Pembibitan tanaman karet dilakukan melalui dua tahap kegiatan diantaranya adalah persemaian perkecambahan dan persemaian bibit. Persemaian perkecambahan adalah persemaian yang bertujuan mengecambahkan benih karet. Perkecambahan adalah untuk mendapatkan bibit batang bawah yang pertumbuhannya cepat dan seragam. Perkecambahan dilakukan 5 - 21 hari di persemaian, bibit yang akan digunakan diseleksi terlebih dahulu. Pemindahan bibit dilakukan dari stadia pancing bahkan sampai stadia payung pertama.
Biji yang digunakan sebagai kecambah untuk batang bawah diambil dari klon unggul yang bersertifikat sehingga nanti dihasilkan batang bawah yang pertumbuhannya baik. Menurut Setyamidjaja (1993), benih yang telah diseleksi sebelum disemaikan sebaiknya dicuci dan diremdam terlebih dahulu, tujuannya adalah untuk meningkatkan daya kecambah benih tersebut. Perendaman biji dilakukan setelah 48 jam. Perbanyakan tanaman karet saat ini dapat dilakukan dengan teknik okulasi, untuk mendapatkan bibit okulasi tanaman karet, dikenal 2 macam cara yaitu:
1. Okulasi hijau (green budding) merupakan okulasi yang menggunakan batang bawah berumur antara 4 sampai 6 bulan dimana batang bawah masih hijau. Pangkal batang telah berwarna hijau kecoklatan, berdiameter 1 sampai 1,5 cm atau sebesar pensil dan tinggi tanaman sekitar 60 cm. batang atas yang digunakan adalah kayu entres yang telah berumur 1 sampai 3 bulan setelah pemangkasan, warna masih hijau atau telah terbentuk 1 sampai 2 payung daun, dan payung teratas sudah berwarna hijau sampai hijau tua.
2. Okulasi coklat (Brown budding) merupakan okulasi yang menggunakan batang bawah yang telah berumur 7 sampai 12 bulan dipembibitan dan telah berdiameter 1,5 cm. batang atasnya berasal dari tanaman kebun entres yang berwarna hijau kecoklatan sampai coklat dan batang lurus.
Pada pembibitan tanaman karet, terdapat dua macam bibit yaitu bibit dalam polybag dan bibit tanpa polybag. Menurut Kuswanhadi (1990) bibit dalam polybag lebih sering digunakan karena memiliki keuntungan seperti pertumbuhan tanaman dilapangan dapat lebih awal, relatif lebih mudah penanganannya, resiko kerusakan selama pengangkutan dapat diperkecil dan bibit yang berasl dari polybag pertumbuhannya lebih seragam. Sedangkan bibit yang langsung ditanam ditanah atau tanpa polybag memiliki keuntungan karena biaya yang dikeluarkan sedikit tetapi kerugian dari cara ini adalah bibit yang akan digunakan harus dipindahkan dulu sehingga memakan waktu dan cara pemindahan harus dilakukan dengan hati- hati agar tidak merusak akar dan membutuhkan tenaga kerja yang banyak.

2.4. Tinjauan Umum Tentang Mikoriza
Sebagian besar jasad hidup yang berada disekitar perakaran tanaman memegang peranan yang penting bagi kehidupan tanaman. Proses mikrobiologi demikian meliputi saprofitisme, patogenetisme dan simbiosis (Fakuara, 1988). Istilah mikoriza berasal dari kata miko (mykes atau jamur) dan riza (rhiza atau akar). Jadi Mikoriza berarti jamur yang dapat berasosiasi dengan akar tumbuh yang membentuk suatu hubungan yang saling mengguntungkan diantara keduanya. Selanjutnya Mosse (1981) dalam Yulianti (1992) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu bentuk hubungan kerjasama yang terjadi antara akar suatu tanaman dengan sejenis jamur yang menginfeksinya. Dalam berasosiasi demikian jamur menginfeksi tanaman dan berkoloni diakar tanpa menimbulkan patogenesis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogenik, dalam hal ini cendawan tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya tetapi cenderung keduanya bekerjasama dan saling mempertukarkan hara sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Mikoriza termasuk dalam kelas Phycomicetes dari ordo Mucorales dan berasal dari famili Endogonaceae. Berdasarkan struktur tubuh dan cara menginfeksi pada tanaman inang, maka cendawan mikoriza dapat dikelompokan dalam 3 golongan besar yaitu; Ektomikoriza, Ektendomikoriza dan Endomikoriza (Anas dan Santosa, 1993).
MVA merupakan jamur yang sulit dikenali dengan mata telanjang karena miselanya berukuran sangat halus yang terdapat disekeling akar dan miselianya masuk dan ada didalam korteks akar. Jamur ini memiliki sifat-sifat antara lain: a) perakaran yang terkena infeksi jamur ini tidak akan membesar, b) jamur membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, c) hifa menginfeksi masuk kedalam individu sel jaringan korteks. Cendawan ini merupakan sekelompok jamur yang banyak dijumpai dan berasosiasi pada berbagai tanaman misalnya, pada tanaman jagung, kedelai, tomat dll.
MVA membentuk organ – organ khusus dan mempunyai peranan yang juga spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul, vesikel dan spora. Vesikel merupakan jamur yang berbentuk seperti kantong bulat, diujung hifa yang mengandung banyak lemak yang berfungsi untuk tempat penyimpanan makanan. Arbuskul merupakan hifa bercabang halus yang terdapat didalam sel. Arbuskular terbentuk 2-3 hari dan dapat meningkatkan luas permukaan akar 2-3 kali lipat dari ukuran semula dan bertindak sebagai saluran pemindah hara dari jamur ke tanaman. Masuknya hifa ke dalam sel tanaman inang diikuti oleh peningkatan sitoplasma, pembentukan organ baru, pembengkakan inti sel, peningkatan respirasi dan aktivitas enzim. Siklus hidup arbuskul cukup singkat yaitu 1 samapi 3 minggu. Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal, spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawan (Anas dan Santos, 1993).
Bagian yang penting dari mikoriza vesikular arbuskular adalah hifa ekternal yang terbentuk diluar akar tanaman. Hifa ini yang membantu memperluas wilayah jelajah akar sehingga memperluas daerah jangkauan akar dan akibatnya jumlah hara yang dapat diserap tanaman dapat bertambah. Selanjutnya ditambahkan pula oleh Mosse (1981) dalam Listiyowati (1989) bahwa bagian yang penting dari mikoriza adalah miselium yang berada di luar akar, karena pada bagian ini terbentuk spora pad ujung-ujung hifa. Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap logam berat dan kandungan aluminium yang tinggi. Tingkat ketersediaan Mn didalam tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan miselium. Spora dapat bertahan hidup didalam tanah selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun, tetapi jamur tidak akan dapat berkembang tanpa adanya jaringan akar yang hidup. Ribuan spora yang baru dan sama jenisnya dapat terbentuk dan diproduksi dalam waktu 4 hingga 6 bulan.
2.5. Peranan Mikoriza Terhadap Perbaikan Pertumbuhan Tanaman
Keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya infeksi jamur mikoriza pada pertumbuhan tanaman adalah semakin baiknya pertumbuhan tanaman karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara terutama P. unsur P dalam tanah tersedia dalam tanah tetapi dalam bentuk yang terikat dengan adanya infeksi jamur mikoriza pada akar tanaman dapat membantu dalam penyerapan unsur P. lebih baiknya pertumbuhan tanaman yangberasosiasi dengan mikoriza dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Meningkatnya volume tanah yang dapat dijangkau oleh akar bersama-sama dengan mikoriza atau dengan kata lain dapat memperluas wilayah jelajah akar.
2. Meningkatnya pengambilan unsur hara P dan unsur hara lain, misalnya Kalium, Sulfat, Tembaga, Seng dan Nitrogen.
3. Menjadikan tanaman kurang peka terhadap kekurangan air (cekaman air) sehingga tanaman dapat beradaptasi pada keadaan lingkungan yang kurang baik, tetapi tanaman dapat tumbuh dengan baik.
4. Meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen, salah satu diantaranya melalui mekanisme pembentukan hormon. Dengan meningkatnya ketahanan tanaman terhadap serangan patogen dapat membuat tanaman dapat tumbuh dengan baik dan kerugian akibat serangan patogen dapat diperkecil sehingga biaya produksi dapat ditekan.
5. Meningkatkan pembentukan bintil akar pada tanaman legum.
6. Meningkatkan kelangsungan hidup tanaman pada lingkungan yang kurang baik, misalnya pada tanah-tanah yang tercemar atau tererosi berat dan tanah -tanah yang memiliki keragaman suhu serta tingkat kemasaman yang tinggi.
7. Mikoriza dapat digunakan sebagai media transfer senyawa organik dan juga mikoriza dapat membentuk enzim
8. Jamur mikoriza juga mampu menghasilkan hormon, seperti hormon auksin, sitokinin dan giberalin yang dapat mempengaruhi struktur dan sistem perakaran.
Disamping keuntungan dalam penyerapan hara, mineral dan air, tanaman juga dapat memperoleh keuntungan lain dari infeksi jamur mikoriza pada tanaman inangnya adalah akar tanaman yang bermikoriza dapat berfungsi lebih lama dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza, selain itu tanaman yang bermikoriza akan lebih sedikit kemungkinananya terserang oleh patogen-patogen yang dapat merusak tanaman, akar-akar pendek yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan pada musim kemarau dari pada tanaman yang tanpa mikoriza. Santoso (1984) menyatakan bahwa kehadiran mikoriza pada tanah dapat mengakibatkan meningkatnya efisiensi penggunaan air oleh tanaman sehingga pemborosan air tanah dapat dikurangi, disamping itu mikoriza juga dapat meningkatkan nilai tegangan asmotik sel-sel akar tanaman sehingga tanaman dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Inokulasi mikoriza dapat juga memberikan peningkatan pertumbuhan anakan pada tanaman Diterocarpaceae. Keberhasilan inokulasi mikoriza dalam menginfeksi tanaman sangat dipengaruhi penempatan mikoriza pada akar tanaman, sebaiknya inokulasi mikoriza harus diberikan disekitar perakaran tanaman sehingga jamur dapat menginfeksi tanaman dengan baik. Selain itu respon pertumbuhan tanaman juga tergantung pada jumlah dan kecepatan infeksi dan kolonisasi dari akar tanaman inang oleh jamur mikoriza.

2.6. Peranan MVA Dalam Meningkatkan Ketahanan Tanaman Terhadap Kekeringan
Tanaman yang bermikoriza dapat meningkatkan serapan air dan hara. Ukuran hifa yang kecil dan lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hifa bisa masuk kedalam pori-pori yang paling kecil sehingga hifa bisa menyerap air pada kondisi kadar air yang sangat rendah. Serapan air yang lebih besar oleh tanaman yang bermikoriza juga akan dapat membawa unsure hara yang mudah larut terbawa olah aliran air seperti N,K dan S sehingga serapan unsure tersebut dapat semakin meningkat.
Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada tanaman yang tidak bermikoriza, akar tanaman yang bernikoriza akan lebih cepat kembali pulih setelah periode kekurangan air. Hal ini disebabkan hifa cendawan mampu menyerap air pada pori-pori tanah dan penyebaranhifa di dalam tanah sangat luas sehingga dapat mengambil air relative lebih banyak (Setiadi,1998). Beberapa dugaan tanaman yang bermikoriza lebih tahan kekeringan antara lain adalah dengan adanya mikoriza menyebabkan resistensi terhadap kekeringan meningkat ( Santosa,1989)

2.7. Peranan Fosfor (P) Bagi Tanaman Karet
Fosfor terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fosfatide, merupakan bagian dari protoplasma dan inti sel. Sebagai bagian dari inti sel sangat penting dalam pembelahan sel, demikian pula bagi perkembangan jaringan meristem. Fosfor diambil tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO4- (Sutedjo, 1999).
Menurut Nyakpa, Lubis, Puling, Amrah, Munawar, Hong dan Hakim (1988) P sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena P banyak terdapat didalam sel tanaman berupa unit – unit nukleotida, sedangkan nukleotida merupakan suatu ikatan yang mengandung P sebagai penyusun RNA dan DNA yang berperan dalam sel tanaman.
Menurut Indranada (1989) P merupakan bagian integral tanaman pada bagian penyimpanan energi. P terlihat pada penangkapan energi cahaya matahari yang mengenai molekul klorofil energi tersebut yang tersimpan dalam bentuk ATP dan ADP maka, energi dapat dipakai untuk menjalankan reaksi – reaksi yang memerlukan energi seperti pembentukan sukrosa, tepung dan protein.
Unsur hara P berperan dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar, sebagai bahan dasar protein (ATP dan ADP), membantu asimilasi dan respirasi, mempercepat proses pembungaan dan pembuahan, serta pemasakan biji dan buah. Gejala kekurangan unsur hara P pada tanaman adalah daun berubah warna menjadi tua atau tampak mengkilap kemerahan, tepi daun, cabang dan batang berwarna merah ungu kemudian berubah menjadi kuning, buah kecil dan cepat matang (Marsono dan Sigit, 2001).
Pemupukan P pada suatu batas tertentu akan memberikan hasil yang meningkat, akan tetapi pemberian yang melampaui batas optimum sering tidak berhasil memberikan respon yang nyata (Supardi, 1983). Menurut Tisdale dan Nelson (1975) pemberian P yang berlebihan dapat mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, klorosis dan bentuk daun tidak normal.
Fosfor dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan kelarutannya yaitu P yang dapat larut dalam air, P yang larut dalam asam sitrat dan P yang tidak larut dalam asam sitrat. P yang larut dalam air P2O5 nya mudah tersedia bagi tanaman, P yang larut dalam asam sitrat P2O5 larut berangsur – angsur sehingga baik untuk tanaman yang tumbuh lambat, sedangkan P yang tidak larut dalam asam sitrat lambat tersedia bagi tanaman (Nyakpa, dkk, 1988).





















III. METODE PRAKTIKUM

3. 1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan selama 10 minggu setiap hari Sabtu pukul 10.00 WIB mulai dari tanggal 3 April 2010 sampai tanggal 5 Juni 2010 di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi, desa Mendalo Darat Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muarao Jambi, dengan jenis tanah Ultisol, pH 5-6 dan dengan ketinggian 35 m dpl.

3. 2. Alat dan Bahan Praktikum
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
 Meteran
 jangka sorong
 peggaris, dan alat tulis lainnya.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah

o benih karet klon GT1
o tanah ultisol lapisan atas
o pasir
o pupuk kandang
o MVA
o polybag ukuran 25 cm x 40 cm
o atap rumbia atau nipah
o Dithane M-45
o Air
o Kayu
o tali plastik
o papan.


3. 3. Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam Praktikum ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial (2 faktor), yaitu :
Faktor I : MVA yang terdiri 2 taraf perlakukan yaitu :
• M0 = Tanpa pemberian mikoriza (kontrol)
• M1 = Pemberian mikoriza sebanyak 10 gram/tanaman
• M¬2 = Pemberian mikoriza sebanyak 20 gr/tanaman


Faktor II : Pemberian pupuk Fosfor yang terdiri 5 taraf perlakukan yaitu :
 P1 = 25 % dosis anjuran
 P2 = 50 % dosis anjuran
 P3 = 75 % dosis anjuran
 P4 = 100 % dosis anjuran
 P5 = 125 % dosis anjuran
Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 45 satuan percobaan. Untuk setiap satuan percobaan terdiri dari 2 tanaman sampel.
3.4. Pelaksanaan Praktikum
3.4.1. Pengamatan
Pengamatan dilakukan setiap hari Sabtu mulai dari tanggal 3 April sampai dengan 5 Juni 2010 dan dilakukan satu minggu sekali. Pengamatan dilakukan berkelompok sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Variabel yang diamati dalam praktium ini adalah tinggi tanaman, jumlah daun, dan diameter batang tanaman karet.

3.4.2. Pemeliharaan
Pemeliharan yang dilakukan yaitu dengan penyiraman, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pengendalian gulma. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut rumput-rumputan liar yang tumbuh disekitar tanaman ataupun yang tumbuh diluar polybag atau disekitar bedengan. Pemupukan dilakukan dengan cara membuat alur di bagian pinggir polibag dan pupuk dibenamkan secara merata pada alur tersebut sesuai dengan dosis anjuran. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan fungisida dan insektisida berupa Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g per liter air dan decis 2 g per liter air, dalam interval waktu pemberian 1 minggu atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan.


3.5. Variabel yang Diamati
3.5.1. Tinggi Bibit
Tinggi bibit diukur dengan interval satu minggu sekali selama 10 minggu. Caranya setiap bibit diukur tingginya dari leher akar (pangkal batang) sampai ketitik tumbuh yang tertinggi dengan menggunakan meteran dengan satuan cm. untuk memperoleh keseragaman dalam pengukuran maka digunakan ajir setinggi 2 cm dari leher akar.

3.5.2. Diameter Batang
Pengukuran diameter batang juga dilakukan dengan interval satu minggu sekali dengan pertimbangan yang sama dengan pengukuran tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan 2 cm diatas leher akar dengan menggunakan jangka sorong yang diukur dari dua sisi tanaman. Untuk mendapatkan rata – rata hasil yang diperoleh dibagi 2 dengan satuan mm.

3.5.3. Jumlah Daun
Jumlah daun dihitung mulai daun paling bawah sampai ke daun yang terletak paling atas. Jumlah daun juga dihitung dengan interval satu minggu sekali selama 10 minggu.

3.5.4. Analisis Data
Untuk melihat perlakuan yang diamati, data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan uji BNT pada taraf 5 %.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Bibit Tanaman Karet (cm)
Perlakuan Pengamatan Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0P0 (I) 75.8 80 80.25 43.5 81.65 81.8 81.9 82.15 82.25 32.75
M0P0 (II) 48 50.5 50.5 70.25 50.7 55.45 60.1 60.45 55.85 55.2
M0P0 (III) 27.75 29.25 30.5 66.75 37.9 38.25 38.8 38.95 39.95 40.25
M0P1 (I) 38.6 39.8 40.25 69.75 71 75.5 75.5 75.75 81.4 92
M0P1 (II) 34.5 36 36.4 45.5 65.45 66 66.6 70 71.9 87.4
M0P1 (III) 69 78.25 83.6 35.25 71.45 72.4 73.05 85.6 89.55 98.25
M0P2 (I) 37.5 42.5 43.5 45.25 39 40.4 40.9 44 46 52.45
M0P2 (II) 59 70 70.25 70.85 64.05 66.35 67.4 67.9 72.65 93
M0P2 (III) 65.5 66.25 66.75 71.1 71.95 73 74.45 79 80.5 81.75
M0P3 (I) 24.6 25.45 26.45 26.85 28.65 29.6 38.2 39 39.4 40.25
M0P3 (II) 29.45 31 35.25 36.35 36.6 37.4 38.6 42.3 43.45 45
M0P3 (III) 25.95 30.25 38.4 41.9 42.15 42.15 45.7 49.65 50.7 55.2
M0P4 (I) 38.8 40.7 42.25 44.45 52.85 53.7 54.65 64.95 66.85 69.45
M0P4 (II) 29.15 30.35 30.75 30.95 34.5 34.5 34.5 34.85 35.25 35.45
M0P4 (III) 42.05 42.25 46.5 49.95 65.15 69.9 70.5 70.5 70.75 73.25
M1P0 (I) 28.4 32.55 35 35.45 37 39.75 51.05 51.05 52.8 59.7
M1P0 (II) 63.7 64.1 64.35 68.75 91.85 96.85 96.85 96.85 96.95 99.15
M1P0 (III) 54.1 64.75 77.25 78.8 79.95 79.95 83.3 94.95 95.3 95.55
M1P1 (I) 95.5 95.7 96.25 96.6 96.9 97.45 98.3 98.8 99.45 99.9
M1P1 (II) 68.1 68.75 69 69.85 70.1 70.7 71.1 71.8 72 72.8
M1P1 (III) 102.05 104.1 104.55 105.3 105.7 106.4 106.75 107.6 108.75 108.85
M1P2 (I) 26.75 28 28.5 29.5 30.5 31 31.25 32.5 37 37.25
M1P2 (II) 40 42 52 53.5 60 60.5 62.5 79.25 81.5 83.5
M1P2 (III) 42 43 48 49 49.5 49.5 49.5 49.75 50.75 63
M1P3 (I) 58.75 62.75 70.5 70.5 71 72 73.5 78 83 90
M1P3 (II) 44.5 45 47 48 65.75 75 73 74.5 76.75 84
M1P3 (III) 24.95 26.25 31.5 42 43 45 44.25 50.5 56 56.5
M1P4 (I) 33.95 34.4 34.6 35 35.25 35.25 35.5 39.25 41.5 45.5
M1P4 (II) 35.55 39.1 46.5 47 47 49.25 59 64.5 69.5 72
M1P4 (III) 33.25 34.25 34.75 36.75 40 40 40.5 43.5 52.4 54.35
M2P0 (I) 28.8 29.5 29.5 30 31 32 34.85 38.7 40 42.3
M2P0 (II) 35.75 38 38 43 43 45.8 47.5 50 54 55.8
M2P0 (III) 44 44.5 44 48 48 52 58 54 60 61.4
M2P1 (I) 53.15 54.8 55.5 56.25 56.65 57.45 58 58.8 64.35 65.25
M2P1 (II) 62.95 63.45 64.2 64.5 65.3 67.05 68.15 68.9 70.05 70.7
M2P1 (III) 56.15 56.5 59 59.6 61.35 62 67.4 68.35 68.95 70.9
M2P2 (I) 46.5 48 50.15 51.85 54.35 59 61.5 65 69 74
M2P2 (II) 38.65 41.15 43.25 46.35 51.5 53 58 61.5 67.5 69.5
M2P2 (III) 25 30.5 36.5 40 42.5 45 61.5 66 75 81
M2P3 (I) 53.25 57.5 60.75 73.5 77.5 80 81.5 83.75 98.25 99.5
M2P3 (II) 31.25 32.5 35 39.25 41.5 44.5 47.5 51.45 54.9 58.55
M2P3 (III) 39 45 48.5 65.75 96.5 66.75 76.75 80.5 96.5 97.25
M2P4 (I) 26.4 28.4 30.2 34.9 36.3 37.1 39.8 42.85 44.5 49.5
M2P4 (II) 22.4 26.1 27.35 29.85 32.85 39.75 40.5 42.5 45.5 51
M2P4 (III) 48.65 55 60.1 82.8 85.45 87.2 88.5 96 101.5 106.5


Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Daun Bibit Tanaman Karet (helai)
Perlakuan Pengamatan Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0P0 (I) 17 22.5 23.5 24 21.05 21 22.5 23 24 24
M0P0 (II) 15.5 17 17 17 13.35 14.5 15 15 15.5 12.5
M0P0 (III) 8.5 9.5 9.5 10 10.5 11 11.5 11.5 12 13.5
M0P1 (I) 9 13.5 13.5 13.5 7.5 8.5 9 11.5 12.5 12.5
M0P1 (II) 10 10.5 10.5 10.5 13 13.5 14 11 11.5 16
M0P1 (III) 15 16 20 21 17.5 14.5 19.5 17.5 18.5 23
M0P2 (I) 9 11.5 12 12 8.5 9.5 23 10 11.5 14
M0P2 (II) 15.5 19 20 20.5 13 14 14 16 17 16
M0P2 (III) 15.5 17.5 18 18 19 20.5 10.5 21.5 22.5 21.5
M0P3 (I) 7.5 8.5 8 7.5 8.5 8 10.5 10 9.5 8
M0P3 (II) 12.5 12.5 15 15 15 16 16.5 17 18.5 20.5
M0P3 (III) 8 8 10 11.5 11.5 11.5 11.5 15 14.5 18
M0P4 (I) 13 13.5 15.5 15.5 17.5 17.5 16.5 20 19.5 19
M0P4 (II) 8 8 8 7.5 9.5 9.5 9 9.5 9.5 9.5
M0P4 (III) 10.5 10.5 10 9.5 14.5 15.5 15.5 15.5 15.5 15
M1P0 (I) 7 8 9.5 9.5 9.5 10.5 14 14 14 15
M1P0 (II) 15.5 15 16 14 21 22.5 22.5 22 21.5 20.5
M1P0 (III) 10.5 14.5 17.5 17.5 18.5 17 16 19.5 19.5 19.5
M1P1 (I) 8 9 10 10 11 11 11.5 11.5 15 15
M1P1 (II) 11 11 11 14.5 19 19 19 22.5 22.5 23
M1P1 (III) 8 8 8 10 12 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5
M1P2 (I) 8 9 10 10 11 11 11.5 11.5 15 15
M1P2 (II) 11 11 11 14.5 19 19 19 22.5 22.5 23
M1P2 (III) 8 8 8 10 12 12.5 12.5 12.5 12.5 12.5
M1P3 (I) 12 12 16 14 13 12.5 12 13.5 15 15
M1P3 (II) 13.5 13 12 11.5 11.5 19 18 18 17.5 17.5
M1P3 (III) 7.5 7.5 7.5 9.5 7 11.5 11.5 13 13.5 13.5
M1P4 (I) 13.5 13 13 13.5 14 16 12.5 17 13.5 13.5
M1P4 (II) 9.5 10 11 13 12.5 12.5 13 16.5 16 18
M1P4 (III) 9.5 11 11 11 12 12 11.5 11.5 13.5 15
M2P0 (I) 12.5 14.5 17 19 20.5 23 25.5 27.5 28.5 31
M2P0 (II) 13.5 15 16.5 18.5 21 22 24 26 26.5 28.5
M2P0 (III) 11.5 13 13.5 14.5 16 17 19 21.5 23.5 25.5
M2P1 (I) 11 12.5 14 16 17 19 21 22 23.5 25
M2P1 (II) 21 22.5 23.5 24.5 26 27 27.5 29 30 31.5
M2P1 (III) 20.5 22 23 24 24.5 25.5 26.5 26.5 28 29
M2P2 (I) 15 15.5 15.5 16.5 18 19 21.5 21.5 23.5 26
M2P2 (II) 11 11.5 12.5 13 14.5 17 18.5 18.5 23.5 25
M2P2 (III) 12 13.5 15 16 17.5 20 20 22 25 26.5
M2P3 (I) 14 16 15 16 21 19 24 24 25.5 26
M2P3 (II) 5.5 7 9 7.5 9 9.5 9.5 12 11 12
M2P3 (III) 9.5 11.5 13.5 10.5 13.5 12 17 20.5 16.5 17.5
M2P4 (I) 8.5 10.5 11 11 13 14 16.5 16.5 20 23
M2P4 (II) 6 8 8.5 8.5 10 12.5 14 16.5 20 21
M2P4 (III) 11.5 15.5 20.5 22.5 23 25.5 27 27 31.5 33


Tabel 3. Rata-Rata Diameter Batang Bibit Tanaman Karet (mm)
Perlakuan Pengamatan Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
M0P0 (I) 3.9 6.65 8.65 8.35 9.85 10.2 10.45 10.6 10.7 11.4
M0P0 (II) 2.95 5.6 7.5 12.1 10.3 10.5 11.25 11.55 11.8 12.25
M0P0 (III) 5.1 5.85 7.75 4.35 4.25 4.45 4.8 4.95 5.05 5.15
M0P1 (I) 5.5 6.7 9.7 9.7 4.85 5.05 5.25 8.4 10.6 13.95
M0P1 (II) 9.9 3.45 5 8 8.2 8.5 8.95 9.55 9.65 6.75
M0P1 (III) 6.8 9.15 12.2 16.55 5.9 6.5 7.55 11.15 14.15 11.65
M0P2 (I) 1.1 1.5 4.45 7.65 4.5 5.15 5.4 5.6 5.8 6.15
M0P2 (II) 5.2 5.75 8.5 16 11.3 8.75 9.1 9.75 10 11.35
M0P2 (III) 5.35 5.65 9.05 10.1 10.25 6.95 8.25 8.85 9.5 10.3
M0P3 (I) 3.56 3.61 3.83 4.18 4.35 4.70 4.83 4.85 5.10 5.33
M0P3 (II) 4.58 5.40 5.56 5.75 6.10 6.13 6.50 6.75 7.25 7.63
M0P3 (III) 3.74 4.21 4.85 5.03 5.14 5.53 6.23 6.55 6.80 7.05
M0P4 (I) 5.93 6.13 6.59 6.95 7.55 7.78 8.10 8.50 8.95 9.40
M0P4 (II) 4.16 4.21 4.55 4.85 4.88 4.90 4.95 4.95 5.08 5.25
M0P4 (III) 5.55 5.65 6.44 7.20 7.35 7.18 7.33 7.55 8.05 8.65
M1P0 (I) 3.70 4.26 4.33 4.38 4.65 5.10 5.53 5.65 5.85 6.70
M1P0 (II) 8.31 9.26 10.13 11.06 11.65 11.70 11.80 12.18 13.15 14.18
M1P0 (III) 7.48 8.16 8.59 8.78 9.35 10.23 10.75 11.70 12.06 12.58
M1P1 (I) 9.3 9.6 10.55 10.85 11.45 12.15 12.5 13.05 13.55 13.95
M1P1 (II) 7.15 7.65 7.9 8.6 9.35 9.85 10.15 10.65 10.95 11.1
M1P1 (III) 7.8 8.65 9.3 9.45 9.85 10.35 10.85 11.3 11.85 12.15
M1P2 (I) 3.50 3.60 3.80 3.80 3.90 4.00 4.30 4.55 4.85 5.05
M1P2 (II) 7.40 7.70 7.80 8.10 8.60 9.30 9.45 9.65 10.20 10.60
M1P2 (III) 5.20 5.40 5.70 5.80 6.00 6.35 6.60 6.85 7.30 7.70
M1P3 (I) 6.4 6.9 7.15 7.65 7.8 7.95 7.95 8 8.1 8.25
M1P3 (II) 7.05 7.65 8.3 8.5 8.7 8.8 8.9 9 9.1 9.25
M1P3 (III) 4.3 4.4 4.7 5.15 5.45 5.6 5.7 5.85 5.95 6.1
M1P4 (I) 4.10 4.90 5.30 5.30 5.35 6.00 6.20 6.30 6.40 6.45
M1P4 (II) 4.50 6.00 6.20 6.80 6.80 7.25 7.60 7.85 8.05 8.15
M1P4 (III) 3.60 5.75 5.95 5.95 6.00 6.15 6.50 6.60 6.70 6.80
M2P0 (I) 7.9 8.1 8.5 9 9.2 9.6 10.35 10.7 10.9 11.25
M2P0 (II) 9.9 10.85 11.3 11.9 12.1 12.6 12.9 13.2 13.35 13.65
M2P0 (III) 9.15 10.05 11.2 11.6 12.3 12.55 12.75 13.25 13.55 14.05
M2P1 (I) 10.75 11.45 11.9 12.3 12.6 12.9 13.9 14.55 15.05 15.5
M2P1 (II) 11.3 11.65 12.4 12.55 12.95 13.35 13.6 13.85 14.15 14.7
M2P1 (III) 10.55 10.95 11.2 11.8 12.05 12.25 12.85 13.05 13.4 13.7
M2P2 (I) 4.87 5.705 7.13 11.83 12.06 12.12 12.71 12.725 12.935 13.15
M2P2 (II) 4.35 5.13 5.595 6 6.43 7.465 8.15 8.8 10.2 10.85
M2P2 (III) 5.5 8.05 9.29 10.495 12.115 13.115 13.2 13.9 14.05 14.7
M2P3 (I) 3.6 4.05 4.575 23.45 6 6.8 7.55 11.35 11.85 12.5
M2P3 (II) 2.665 3.05 3.2 3.255 3.4 3.9 3.3 4.65 6.8 7.45
M2P3 (III) 4.55 5.05 5.85 6.25 6.65 52.5 11.05 10.15 12.3 12.55
M2P4 (I) 1.395 2.25 3.025 3.525 3.75 3.81 4.4 4.405 4.61 4.625
M2P4 (II) 1.29 2.065 2.79 3.34 3.77 4.795 5.035 5.1 5.24 5.245
M2P4 (III) 1.78 1.82 6.82 8.18 11.47 12.47 12.495 12.555 12.635 12.75


Tabel 4. Data Pengaruh Pemberian MVA dan P Terhadap Tinggi Bibit Tanaman Karet (cm)
Perlakuan Ulangan Total Rata-Rata
1 2 3
M0P0 32.75 55.2 40.25 128.20 42.73
M0P1 92 87.4 98.25 277.65 92.55
M0P2 52.45 93 81.75 227.20 75.73
M0P3 40.25 45 55.2 140.45 46.82
M0P4 69.45 35.45 73.25 178.15 59.38
M1P0 59.7 99.15 95.55 254.40 84.80
M1P1 99.9 72.8 108.85 281.55 93.85
M1P2 37.25 83.5 63 183.75 61.25
M1P3 90 84 56.5 230.50 76.83
M1P4 45.5 72 54.35 171.85 57.28
M2P0 42.3 55.8 61.4 159.50 53.17
M2P1 65.25 70.7 70.9 206.85 68.95
M2P2 74 69.5 81 224.50 74.83
M2P3 99.5 58.55 97.25 255.30 85.10
M2P4 49.5 51 106.5 207.00 69.00
Total 949.80 1033.05 1144.00 3126.85 69.49

Tabel 5. Total Perlakuan Terhadap Tinggi Bibit Tanaman Karet
Faktor Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
Fosfor (P) Taraf M0 M1 M2 Total
P0 128.20 254.40 159.50 542.1
P1 277.65 281.55 206.85 766.05
P2 227.20 183.75 224.50 635.45
P3 140.45 230.50 255.30 626.25
P4 178.15 171.85 207.00 557
Total 951.65 1122.05 1053.15 3126.85


Tabel 6. Data Pengaruh Pemberian MVA dan P Terhadap Jumlah Daun Bibit Tanaman Karet
Perlakuan Ulangan Total Rata-Rata
1 2 3
M0P0 24 12.5 13.5 50.00 16.67
M0P1 12.5 16 23 51.50 17.17
M0P2 14 16 21.5 51.50 17.17
M0P3 8 20.5 18 46.50 15.50
M0P4 19 9.5 15 43.50 14.50
M1P0 15 20.5 19.5 55.00 18.33
M1P1 15 23 12.5 50.50 16.83
M1P2 15 23 12.5 50.50 16.83
M1P3 15 17.5 13.5 46.00 15.33
M1P4 13.5 18 15 46.50 15.50
M2P0 31 28.5 25.5 85.00 28.33
M2P1 25 31.5 29 85.50 28.50
M2P2 26 25 26.5 77.50 25.83
M2P3 26 12 17.5 55.50 18.50
M2P4 23 21 33 77.00 25.67
Total 282.00 294.50 295.50 872.00 19.38

Tabel 7. Total Perlakuan Terhadap Jumlah Daun Bibit Tanaman Karet
Faktor Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
Fosfor (P) Taraf M0 M1 M2 Total
P0 50.00 55.00 85.00 190.00
P1 51.50 50.50 85.50 187.50
P2 51.50 50.50 77.50 179.50
P3 46.50 46.00 55.50 148.00
P4 43.50 46.50 77.00 167.00
Total 243.00 248.50 380.50 872.00


Tabel 8. Data Pengaruh Pemberian MVA dan P Terhadap Diameter Batang Bibit Tanaman Karet (mm)
Perlakuan Ulangan Total Rata-Rata
1 2 3
M0P0 11.4 12.25 5.15 28.80 9.60
M0P1 13.95 6.75 11.65 32.35 10.78
M0P2 6.15 11.35 10.3 27.80 9.27
M0P3 5.33 7.63 7.05 20.01 6.67
M0P4 9.4 5.25 8.65 23.30 7.77
M1P0 6.7 14.18 12.58 33.46 11.15
M1P1 13.95 11.1 12.15 37.20 12.40
M1P2 5.05 10.6 7.7 23.35 7.78
M1P3 8.25 9.25 6.1 23.60 7.87
M1P4 6.45 8.15 6.8 21.40 7.13
M2P0 11.25 13.65 14.05 38.95 12.98
M2P1 15.5 14.7 13.7 43.90 14.63
M2P2 13.15 10.85 14.7 38.70 12.90
M2P3 12.5 7.45 12.55 32.50 10.83
M2P4 4.625 5.245 12.75 22.62 7.54
Total 143.66 148.41 155.88 447.94 9.95

Tabel 9. Total Perlakuan Terhadap Diameter Batang Bibit Tanaman Karet
Faktor Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
Fosfor (P) Taraf M0 M1 M2 Total
P0 28.80 33.46 38.95 101.21
P1 32.35 37.20 43.90 113.45
P2 27.80 23.35 38.70 89.85
P3 20.01 23.60 32.50 76.11
P4 23.30 21.40 22.62 67.32
Total 132.26 139.01 176.67 447.94

4.2. Pembahasan
4.2.1. Penagamatan Pertumbuhan Bibit Tanaman Karet dalam bentuk Kurva
Kurva di atas menunjukkan bahwa dari hasil kurva pengamatan tinggi bibit tanaman karet ( cm ) yang dihasilkan berdasarkan data dari tabel 1. Maka kurva tersebut dapat dilihat bahwa tinggi bibit bertambah secara nyata (significant) dari minggu ke minggu. Tetapi dalam kurva tersebut ada juga kurva yang menunjukkan penurunan tinggi bibit. Hal ini mungkin dapat terjadi karena kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa (human error), kurangnya penyiramanan, dan pengaruh faktorlainnya. sehingga hasil data yang diperoleh tidak maksimal (akurat). Pemberian perlakuan yang menggunakan Jamur MVA dan P pada bibit ternyata mempengaruhi pertambahan tinggi batang yang ditunjukkan dengan pertambahan tinggi yang berbeda pada setiap macam-macam perlakuan. Dan dari kurva di atas terlihat bahwa perlakuan M1P1 yang memperlihatkan pertumbuhan tinggi yang paling baik. Mungkin ini menunjukkan bahwa pemberian bakteri MVA dan P pada tanaman karet yang sesuai untuk tanaman karet ini. Maka pertumbuhannya mengalami peningkatan disetiap minggunyua.

Kurva di atas merupakan kurva pengamatan jumlah daun bibit karet yang dihasilkan berdasarkan data dari tabel 2. Dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa jumlah daun juga bibit bertambah secara nyata (significant) dari minggu ke minggu. Dalam kurva tersebut terlihat bahwa pertambahan jumlah daun tidak selalu meningkat, tetapi ada kalanya jumlah daun berkurang. Hal ini disebabkan adanya daun yang gugur karena daun sudah tua dan keguguran daun ini tidak dimbangi dengan munculnya daun-daun baru sehingga jumlah daun menjadi berkurang. Pertambahan jumlah daun dalam hal ini dinilai sangat penting karena daun berperan sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis yang dapat menghasilkan gula sebagai bahan baku untuk melakukan pertumbuhan bibit karet tersebut. Dan dengan pertambahan jumlah daun yang signifikan akan mempengaruhi laju pertumbuhan pada bagian yan lain juga.

Kurva di atas merupakan kurva pengamatan diameter batang bibit tanaman karet (dalam mm) berdasarkan data dari tabel 3. Dari kurva di atas terlihat bahwa secara umum pertambahan diameter batang pada bibit karet terjadi secara linear yang ditunjukkan dengan kurva yang membentuk garis yang lurus. Tetapi ada sebagian kurva yang membentuk gelombang naik turun. Hal itu mungkin disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam mengukur diameter batang bibit sehingga data yang diperoleh tidak maksimal (akurat). Sehingga , dari kurva di atas dapat dilihat perbandingan diametrnya bahwa diameter batang merupakan salah satu variabel yang menunjukkan pertumbuhan dari bibit tanaman karet tersebut. Dan pemberian perlakuan MVA dan P pada bibit tanaman karet ternyata memberikan pengaruhi pertambahan diameter batang yang ditunjukkan dengan diemeter yang berbeda-beda pada setiap perlakuan. Dan perlakuan yang menunjukkan pertambahan diameter batang yang maksimal adalah pada perlakuan M2P1.

4.2.2. Analisis Data
Untuk melihat pengaruh perlakuan yang diamati, data hasil pengamatan dianalisis secara Statistik dengan menggunakan sidik ragam dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan uji BNT pada taraf 5 % (0.05). Dari analisis ragam yang dilakukan, maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Tabel Analisis Ragam Tinggi Bibit Tanaman Karet
SK DB JK KT F hitung F Tabel
F 0.05 F 0.01
Perlakuan 14 10622.17 758.73 2.43* 2.04 2.75
M 2 979.68 489.84 1.57 3.32 5.39
P 4 3500.18 875.04 2.80* 2.69 4.02
Interaksi MP 8 6142.31 767.79 2.46* 2.27 3.17
Galat 30 9363.58 312.12
Total 44 19985.75
Ket. : * = berbeda nyata (significant)

Uji BNT pada taraf 5 %
BNT0.05 = tα/2 (30) ×
= 2,045 ×
= 2,045 × 14,42
= 29,50
 Dari hasil perhitungann analisis di atas, diperoleh nilai F hitung yang berbeda nyata (significant) pada sumber keragaman perlakuan, P, dan gabungan (interaksi) MP. Sedangkan pada perlakuan M diperoleh hasil yang tidak significant. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan tinggi bibit karet. Akan tetapi pemberian mikoriza (MVA) tidak begitu memberikan pengaruh yang nyata dibanding dengan pemberian fosfor (P).karena kandungan fosfor ini memperkuat batang agar tidak mudah roboh dan perkembangan akar. Namun di antara kedua perlakuan tersebut (MVA dan P) terdapat interaksi yang nyata sehingga dengan pemberian perlakuan MVA dan P secara bersama-sama akan memberikan hasil yang significant pada pertambahan tinggi tanaman. Dan dari analisis tersebut dapat diketahui bahwa pemberian fosfor (P) dapat meningkatkan pertumbuhan pada bagian batang dari tanaman, Untuk pembelahan sel dan pembentukan albumin. Dari hasil analisis ragam tersebut dapat dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf 5 % yang menghasilkan nilai BNT0.05 = 29,50.

2. Tabel Analisis Ragam Jumlah Daun Bibit Tanaman karet
SK DB JK KT F hitung F Tabel
F 0.05 F 0.01
Perlakuan 14 1040.41 74.32 3.29** 2.04 2.75
M 2 808.01 404.01 17.89** 3.32 5.39
P 4 132.52 33.13 1.47 2.69 4.02
Interaksi MP 8 99.88 12.48 0.55 2.27 3.17
Galat 30 677.67 22.59
Total 44 1718.08
Ket. : ** = berbeda sangat nyata (highly significant)

Uji BNT pada taraf 5 %
BNT0.05 = tα/2 (30) ×
= 2,045 ×
= 2,045 × 3,88
= 7,94
Dari hasil analisis di atas, dapat diperoleh nilai F hitung yang berbeda sangat nyata (highly significant) pada sumber keragaman perlakuan M. Sedangkan pada perlakuan P dan interaksi MP diperoleh hasil yang tidak ada pengaruh (significant). Hal ini menunjukkan bahwa adanya perlakuan ini juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertambahan jumlah daun bibit tanaman karet. Pemberian mikoriza (MVA) juga bisa memberikan pengaruh yang sangat nyata dibanding dengan pemberian fosfor (P). Namun di antara kedua perlakuan tersebut (MVA dan P) tidak terdapat interaksi yang nyata sehingga dengan pemberian perlakuan MVA dan P secara bersama-sama tidak bisa memberikan hasil yang significant pada pertambahan jumlah daun tanaman. Dari hasil analisis ragam tersebut dapat dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf 5 % (0.05) yang menghasilkan nilai BNT0.05 = 7,94.

3. Tabel Analisis Ragam Diameter Batang tanaman Karet
SK DB JK KT F hitung F 0.05 F 0.01
Perlakuan 14 262.96 18.78 2.63* 2.04 2.75
M 2 76.36 38.18 5.35* 3.32 5.39
P 4 153.56 38.39 5.38** 2.69 4.02
Interaksi MP 8 33.04 4.13 0.58 2.27 3.17
Galat 30 214.06 7.14
Total 44 477.02
Ket. : * = berbeda nyata (significant)
** = berbeda sangat nyata (highly significant)

Uji BNT pada taraf 5 %
BNT0.05 = tα/2 (30) ×
= 2,045 ×
= 2,045 × 2,18
= 4,46
Dari hasil analisis di atas, dapat diperoleh nilai F hitung yang berbeda nyata (significant) pada sumber keragaman perlakuan M. Sedangkan pada perlakuan P diperoleh hasil yang berbeda sangat nyata (highly significant), dan pada interaksi MP diperoleh hasil yang tidak significant. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan diameter batang bibit tanaman karet. Dari hasil analisis ragam tersebut dapat dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf 5 % yang menghasilkan nilai BNT0.05 = 4,46.

V. KESIMPULAN

Pengamatan dalam praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui respon bibit karet (Hevea brasiliensis) terhadap pemberian mikoriza vesikular arbuskular (MVA) dan fosfor (P) pada tanah ultisol di polybag. Dan dari hasil dan pembahasan yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari pembahasan diatas dapat simpulkan bahwa perlakuan yang sangat memberikan pengaruh yang nyata adlah perlakuan Fosfot (P).
2. Pemberian perlakuan MVA dan P berpengaruh nyata significant pada pertumbuhan bibit tanaman karet pada tanah ultisol di polybag.
3. Pada perlakuan ini terdapat interaksi antara pemberian MVA dan P sehingga bila diberikan secara bersama-sama akan mampu meningkatkan pertumbuhan bibit tanaman karet di dalam polybag.
4. Dosis pemberian MVA dan P yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan bibit karet adalah pada dosis MVA sebanyak 10 gram/tanaman dan pupuk P sebanyak 50 % dari dosis anjuran.


DAFTAR PUSTAKA

Setyamidjaja, Dj. 1993. Seri Budi Daya : KARET. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penulis PS. 2000. KARET: Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan Pengolahan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Martino, Dede. 2004. Pengantar Pembiakan Vegetatif. Jambi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

Kamis, 22 April 2010

praktikum DDA

I. PENDAHULUAN

latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan sumber protein nabati bagi penduduk Indonesia, sehingga pemerintah mengharap-kan dapat tercapai swasembada kedelai. Produksi kedelai nasional hingga saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih harus mengimpor. Menurut Badan Pusat Statistik (2002), produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2001 adalah 1 juta ton dengan luas panen 827 ribu hektar. Kebutuhan kedelai dalam negeri pada tahun 2001 tersebut adalah 3,2 juta ton. Impor kedelai terus meningkat setiap tahun,karena kebutuhan kedelai untuk konsumsi per kapita per tahun penduduk Indonesia E. zinckenella. Informasi mengenai bioekologi dan daerah penyebaran empat spesies penggerek polonglainnya masih terbatas. Peningkatan serangan E. zinckenella diduga berkaitan dengan makin luasnya pertanaman kedelai dan tersedianya inang sepanjang tahun. Perbandingan kumulatif pertambahan luas serangan penggerek polong pada tahun 2002, 2003, dan rata-rata tahun 1997−2001 masing-masing adalah 316 ha, 539 ha, dan 1.218 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2004). Seiring dengan menurunnya luas pertanaman kedelai, luas serangan penggerek polong pada tahun 2003 lebih rendah dibanding rata-rata tahun 1997−2001, namun serangannya terdapat di 22 provinsi. Provinsi dengan pertambahan luas serangan tertinggi adalah Jawa Tengah 197 ha, Sulawesi Tenggara 58 ha, NTB 37 ha, Jawa Timur 31 ha, Sulawesi Tengah 30 ha, dan Kalimantan Selatan 30 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2004). Kehilangan hasil akibat serangan penggerek polong mencapai 80%, bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian (Djuwarso et al. 1990). Hingga kini, upaya pengendalian masih mengandalkan insektisida kimia, namun kehilangan hasil akibat serangan penggerek polong masih belum teratasi. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian, telah dilakukan pengkajian bioekologi sebagai dasar dalam penyusunan strategi pengendalian penggerek polong secara terpadu (PHT).

Kebutuhan kedelai di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, sedangkan produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah masih tergantung dengan impor. Impor kedelai dari tahun 1992-1995 terus meningkat dengan rata-rata 7,5 % setiap tahun. Hal ini karena makin meningkatnya jumlah masyarakat yang mengkonsumsi makanan yang berasal dari bhan kedelai serta semakin meningkatnya pertumbuhan usaha peternakan yang menggunakan pakan dari bahan kedelai (Dinas Pertanian Tanaman Pangan 1999).
Pada awalnya, kedelai dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut
Divisio : Spermatophyta
Classis : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Papilionaceae
Genus : Glycine
Species : Glycine max (L.) Merill

Perkembangan komoditi kedelai propinsi Jambi dalam rentang tahun 1992-1996 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. perkembangan luas panen dan produksi kedelai di Propinsi Jambi 1995/1996
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Rata-rata (Kw/ Ha)
1992
1993
1994
1995
1996 8.238
8.290
9.410
10.190
8.333 6.945
7.505
9.202
9.133
6.679 8,43
9,05
9,78
8.96
8.02
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1997


Tabel diatas memperlihatkan, bahwa luas panen mengindikasikn peningkatan sebesar 38,13 % dari tahun 1992 hingga tahun 1995 dan pada tahun 1996 menunjukan penurunan produksi sebesar 11,04%. Turunnya produksi ini disebabkan oleh terjadinya pengurangan pada luas panen (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1997).

Rumusan Masalah
Di lokasi lahan vegetasi tanaman kedelai ini yang berada di area kebun kampus universitas jambi, Kebutuhan kedelai belum terpenuhi hanya dengan perluasan areal penanaman kedelai di berbagai daerah karena pertanaman kedelai sering terserang hama dan patogen diantaranya adalah bakteri Xanthomonas campestris pv. glycines penyebab penyakit pustul.

Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dijawab dalam praktikum ini adalah :
1. Bagaimana tingkat penerapan tekhnologi yang dilakukan petani pelaksana intensifikasi kedelai ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan rendahnya tingkat produksi kedelai

Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
1. Mempelajari dan mengetahui pertumbuhan vegetatif kedelai.
2. Untuk mengetahui factor apa saja yang menyebabkan rendahnya tingkat produksi kedelai.
3. Untuk mengetahui pengaruh beda populasi dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
Kegunaan
1. Diharapkan hasil praktikum ini dapat bermamfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk praktikum yang sejenis di tahun mendatang.
2. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
3. sebagai salah satu syarat mengontrak mata kuliyah Dasar-Dasar Agronomi.
4. sebagai syarat untuk ujian Praktikum Dasar-Dasar Agronomi.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Mengatasi keterbatasan unsur hara, seperti Nitrogen pada lahan kering, hal yang dapat dilakukan adalah dengan pemupukan, karena kedelai merupakan tanaman legum yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium japonicum L. dan akhirnya membentuk bintil akar, dan mampu mengikat nitrogen di udara (Gardner et al, 2000).
Kedelai adalah tanaman serbaguna. Hal tersebut dapat dilihat dari morfologi kedelai itu sendiri. Akar dari kedelai memiliki bintil sebagai pengikat nitrogen bebas, dimana bintil tersebut ada yang efektif maupun non efektif. Tanaman kedelai juga memilki kandungan protein tinggi sebesar 42%, sehingga dedaunannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan bagus untuk ternak. Biji dari kedelai juga memilliki multi fungsi, yaitu digunakan sebagai bahan dasar tempe, tahu, susu, kecap dan lain sebagainya. Selain itu kandungan isoflavon di dalam kedelai dimanfaatkan untuk menimbun lemak serta menghancurkan lemak pada lingkar pinggang. Sehingga kedelai banyak dimanfaatkan sebagai makanan diet yang baik (Anonima, 2009).
Amerika serikat merupakan negara penghasil kedelai terbesar di dunia. Kedelai merupakan tanaman hari panjang, sehingga sangat cocok dibudidayakan di Amerika serikat yang juga memiliki empat musim. Di Indonesia yang merupakan hari pendek, budidaya kedelaipun dapat dilakukan, walaupun hasilnya tidak sebagus di Amerika. Di Indonesia, kedelai dimanfaatkan sebagai sumber gizi/ protein utama dan tidak digunakan untuk keperluan industri (Suroto, 2001).
Kedelai dengan nama latin Glysin max merupakan tanaman asli Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang bagian selatan. Sementara untuk Glisin soja merupakan kedelai hitam yang berasal dari daerah Asia tropis atau Asia tenggara. Dimana, tanaman kedelai banyak mengandung protein nabati dan minyak nabati dunia yang bermanfaat bagi manusia (Yutono, 2001).
Kedelai memiliki jenis yang sangat beragam, seperti kedelai hitam, kedelai putih dan lain sebagainya. Kedelai banyak mengandung metabolit primer seperti protein 42% dan lemak 18% sehingga kedelai digunakan sebagai bahan utaman lauk pauk. Varietas kedelai putih (Glysin max) memiliki ciri bijinya bisa berwarna kuning, sedangkan untuk Glysin soja (kedelai hitam) memiliki ciri morfologi, bijinya berwarna hitam (Anonimb, 2009).

2.1 MORFOLOGI TANAMAN KEDELAI
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga pertumbuhannya bisa optimal.

1. Akar
Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar misofil. Calon akar tersebut kemudian tumbuh dengan cepat ke dalam tanah, sedangkan kotiledon yang terdiri dari dua keping akan terangkat ke permukaan tanah akibat pertumbuhan yang cepat dari hipokotil. Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi. Perkembangan akar kedelai sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik dan kimia tanah, jenis tanah, cara pengolahan lahan, kecukupan unsur hara, serta ketersediaan air di dalam tanah.
Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang sekitar 2 m atau lebih pada kondisi yang optimal, namun demikian, umumnya akar tunggang hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah olahan yang tidak terlalu dalam, sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada kedalaman tanah sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat ujung akar tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin
bertambah banyak dengan pembentukan akar-akar muda yang lain.





2. Batang dan cabang
Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hopikotil dan dua keeping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menerobos ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada diatas kotiledontersebut dinamakan epikotil.
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipedeterminate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Disamping itu, ada varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semi-determinate atau semi-indeterminate.
Jumlah buku pada batang tanaman dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran pada siang hari. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buah. Jumlah buku batang indeterminate umumnya lebih banyak dibandingkan batang determinate.
Cabang akan muncul di batang tanaman. Jumlah cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada juga varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah batang bisa menjadi sedikit bila penanaman dirapatkan dari 250.000 tanaman/hektar menjadi 500.000 tanaman/hektar. Jumlah batang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi. Artinya, walaupun jumlah cabang banyak, belumtentu produksi kedelai juga banyak.

3. Daun

Tanaman kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa pertumbuhan. Umumnya, bentuk daun kedelai ada dua, yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedua bentuk daun tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Bentuk daun diperkirakan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan potensi produksi biji. Umumnya, daerah yang mempunyai tingkat kesuburan tanah tinggi sangat cocok untuk varietas kedelai yang mempunyai bentuk daun lebar. Daun mempunyai stomata, berjumlah antara 190-320 buah/m2.
Umumnya, daun mempunyai bulu dengan warna cerah dan jumlahnya bervariasi. Panjang bulu bisa mencapai 1 mm dan lebar 0,0025 mm. Kepadatan bulu bervariasi, tergantung varietas, tetapi biasanya antara 3- 20 buah/mm2. Jumlah bulu pada varietas berbulu lebat, dapat mencapai 3- 4 kali lipat dari varietas yang berbulu normal. Contoh varietas yang
berbulu lebat yaitu IAC 100, sedangkan varietas yang berbulu jarang yaitu Wilis, Dieng, Anjasmoro, dan Mahameru. Lebat-tipisnya bulu pada daun kedelai berkait dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan jenis hama tertentu. Hama penggerek polong ternyata sangat jarang menyerang varietas kedelai yang berbulu lebat. Oleh karena itu, para peneliti pemulia tanaman kedelai cenderung menekankan pada pembentukan varietas yang tahan hama harusmempunyai bulu di daun, polong, maupun batang tanaman kedelai

4. Bunga

Tanaman kacang-kacangan, termasuk tanaman kedelai, mempunyai dua stadia tumbuh, yaitu stadia vegetatif dan stadia reproduktif. Stadia vegetatif mulai dari tanaman berkecambah sampai saat berbunga, sedangkan stadia reproduktif mulai dari pembentukan bunga sampai pemasakan biji. Tanaman kedelai di Indonesia yang mempunyai panjang hari rata-rata sekitar 12 jam dan suhu udara yang tinggi (>30° C), sebagian besar mulai berbunga pada umur antara 5-7 minggu. Tanaman kedelai termasuk peka terhadap perbedaan panjang hari, khususnya saat pembentukan bunga. Bunga kedelai menyerupai kupu-kupu. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Bunga pertama yang terbentuk umumnya pada buku kelima, keenam, atau pada buku yang lebih tinggi.
Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Setiap ketiak tangkai daun yang mempunyai kuncup bunga dan dapat berkembang menjadi polong disebut sebagai buku subur. Tidak setiap kuncup bunga dapat tumbuh menjadi polong, hanya berkisar 20-80%. Jumlah bunga yang rontok tidak dapat membentuk polong yang cukup besar. Rontoknya bunga ini dapat terjadi pada setiap posisi buku pada 1- 10 hari setelah mulai terbentuk bunga. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Jumlah bunga pada tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminate. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu

5. Polong dan biji
Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50, bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak.
Di dalam polong terdapat biji yang berjumlah 2-3 biji. Setiap biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13 g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Bentuk biji bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar biji berbentuk bulat telur. Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji.
Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut.Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13%

6. Bintil akar dan Fiksasi Nitrogen
Tanaman kedelai dapat mengikat nitrogen (N2) di atmosfer melalui aktivitas bekteri pengikat nitrogen, yaitu Rhizobium japonicum. Bakteri ini terbentuk di dalam akar tanaman yang diberi nama nodul atau bintil akar. Keberadaan Rhizobium japonicum di dalam tanah memang sudah ada karena tanah tersebut ditanami kedelai atau memang sengaja ditambahkan ke dalam tanah. Nodul atau bintil akar tanaman kedelai umumnya dapat mengikat nitrogen dari udara pada umur 10 – 12 hari setelah tanam, tergantung kondisi lingkungan tanah dan suhu. Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar 25°C sangat mendukung pertumbuhan bintil akar tersebut. Perbedaan warna hijaudaun pada awal pertumbuhan (10 – 15 hst) merupakan indikasi efektivitasRhizobium japonicum. Namun demikian, proses pembentukan bintil akar sebenarnya sudah terjadi mulai umur 4 – 5 hst, yaitu sejak terbentuknya akar tanaman. Pada saat itu, terjadi infeksi pada akar rambut yang merupakan titik awal dari proses pembentukan bintil akar. Oleh karena itu, semakin banyak volume akar yang terbentuk, semakin besar pula kemungkinan jumlah bintil akar atau nodul yang terjadi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas inokulasi. Oleh karena inokulan berisi organisme hidup maka harus terlindung dari pengaruh sinar matahari langsung, suhu tinggi, dan kondisi kering karena dapat menurunkan populasi bakteri dalam media inokulan sebelum diaplikasikan. Bila perlu, inokulan dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 4°C sebelum digunakan. Inokulan yang baik akan berisi sebanyak 105 – 107 sel/gr bahan pembawa. Pada waktu aplikasi bakteri Rhizobium japonicum ini, tidak diberikan bersamaan dengan fungisida karena fungisida banyak mengandung logam berat yang dapat mematikan bakteri. Sementara penggunaan herbisida tidak banyak pengaruhnya
terhadap jumlah dan aktivitas bakteri ini.
Ada beberapa metode aplikasi bakteri, yaitu pelapisan biji (slurry method), metode sprinkle, metode tepung (powder method), dan metode inokulasi tanah. Inokulasi biji dengan bakteri Rhizobium japonicum umumnya paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu dengan takaran 5 – 8 g/kg benih kedelai. Mula-mula biji kedelai dibasahi dengan air secukupnya, kemudian diberi bubukan bakteri Rhizobium japonicum sehingga bakteri tersebut dapat menempel di biji. Bakteri tersebutkemudian dapat melakukan infeksi pada akar sehingga terbentuk nodulatau bintil akar. Bahan pembawa bakteri pada inokulasi biji ini umumnyaberupa humus (peat).
Tanaman kedelai dikenal sebagai sumber protein nabati yang murah karena kadar protein dalam biji kedelai lebih dari 40%. Semakin besar kadar protein dalam biji, akan semakin banyak pula kebutuhan nitrogen sebagai bahan utama protein. Dilaporkan bahwa untuk memperoleh hasil biji 2,50 ton/ha, diperlukan nitrogen sekitar 200 kg/ha. Dari jumlah tersebut, sekitar 120 – 130 kg nitrogen dipenuhi dari kegiatan fiksasinitrogen.
Pemupukan nitrogen sebagai starter pada awal pertumbuhan kedelai perlu dilakukan untuk pertumbuhan dalam 1 minggu pertama. Pada keadaan tersebut, akar tanaman belum berfungsi sehingga tambahan nitrogen diharapkan dapat merangsang pembentukan akar. Hal ini akan membuka kesempatan pembetukan bintil akar. Selain itu, sistemperkecambahan kedelai berupa epigeal sehingga persediaan makanan di dalam kotiledon lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan awalvegetatif dan seringkali nitrogen yang dibutuhkan tidak tercukupi. Namun demikian, bila penggunaan pupuk nitrogen terlalu banyak, akan menekan jumlah dan ukuran bintil akar sehingga akan mengurangi efektivitaspengikatan N2 dari atmosfer.




2.2 STADIA PERTUMBUHAN KEDELA
Pengetahuan tentang stadia pertumbuhan tanaman kedelai sangat penting, terutama bagi para pengguna aspek produksi kedelai. Hal ini terkait dengan jenis keputusan yang akan diambil untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal dengan tingkat produksi yang maksimal dari tanaman kedelai, misalnya waktu pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, serta penentuan waktu panen

2.2.1 Stadia pertumbuhan vegetative
Stadia pertumbuhan vegetatif dihitung sejak tanaman mulai muncul kepermukaan tanah sampai saat mulai berbunga. Stadia perkecambahandicirikan dengan adanya kotiledon, sedangkan penandaan stadiapertumbuhan vegetatif dihitung dari jumlah buku yang terbentuk padabatang utama. Stadia vegetatif umumnya dimulai pada buku ketiga

2.2.2 Stadia pertumbuhan reproduktif
Stadia pertumbuhan reproduktif (generatif) dihitung sejak tanaman kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong, perkembangan biji, dan pemasakan biji

2.3 LINGKUNGAN TUMBUH
Tanah dan iklim merupakan dua komponen lingkungan tumbuh yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai. Pertumbuhan kedelai tidak bisa optimal bila tumbuh pada lingkungan dengan salah satu komponen ini harus saling mendukung satu sama lain sehingga pertumbuhan kedelai bisa optimal.

2.3.1 Tanah
Tanaman kedelai sebenarnya dapat tumbuh di semua jenis tanah, namun demikian, untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang optimal, kedelai harus ditanam pada jenis tanah berstruktur lempung berpasir atau liat berpasir. Hal ini tidak hanya terkait dengan ketersediaan air untuk mendukung pertumbuhan, tetapi juga terkait dengan factor lingkungan tumbuh yang lain.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pertanaman kedelai yaitu kedalaman olah tanah yang merupakan media pendukung pertumbuhan akar. Artinya, semakin dalam olah tanahnya maka akan tersedia ruang untuk pertumbuhan akar yang lebih bebas sehingga akar tunggang yang terbentuk semakin kokoh dan dalam. Pada jenis tanah yang bertekstur remah dengan kedalaman olah lebih dari 50 cm, akar tanaman kedelai dapat tumbuh mencapai kedalaman 5 m. Sementara pada jenis tanah dengan kadar liat yang tinggi, pertumbuhan akar hanya mencapai kedalaman sekitar 3 m.
2.3.2 Iklim
Untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang optimal, tanaman kedelai memerlukan kondisi lingkungan tumbuh yang optimal pula. Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan faktor lingkungan tumbuh, khususnya tanah dan iklim. Kebutuhan air sangat tergantung pada pola curah hujan yang turun selama pertumbuhan, pengelolaan tanaman, serta umur varietas yang ditanam.
a. Suhu
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat, bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Disamping suhu tanah, suhu lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan tanaman kedelai. Bila suhu lingkungan sekitar 40°C pada masa tanaman berbunga, bunga tersebut akan rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang terbentuk juga menjadi berkurang. Suhu yang terlalu rendah (10°C), seperti pada daerah subtropik, dapat menghambat proses pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Suhu lingkungan optimal untuk pembungaan bunga yaitu 24 -25°C.
b. Panjang hari (photoperiode)
Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari atau lama penyinaran sinar matahari karena kedelai termasuk tanaman “hari pendek”. Artinya, tanaman kedelai tidak akan berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis, yaitu 15 jam perhari. Oleh karena itu, bila varietas yang berproduksi tinggi
dari daerah subtropik dengan panjang hari 14 – 16 jam ditanam di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena masa bunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50 – 60 hari menjadi 35 – 40 hari setelah tanam. Selain itu, batang tanaman pun menjadi lebih pendek dengan ukuran buku subur juga lebih pendek.
c. Distribusi curah hujan
Hal yang terpenting pada aspek distribusi curah hujan yaitu jumlahnya merata sehingga kebutuhan air pada tanaman kedelai dapat terpenuhi. Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, system pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Namun demikian, pada umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350 – 450 mm selama masa pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong. Kondisi kekeringan menjadi sangat kritis pada saat tanaman kedelai berada pada stadia perkecambahan dan pembentukan polong.
Untuk mencegah terjadinya kekeringan pada tanaman kedelai, khususnya pada stadia berbunga dan pembentukan polong, dilakukan dengan waktu tanam yang tepat, yaitu saat kelembaban tanah sudah memadai untuk perkecambahan. Selain itu, juga harus didasarkan pada pola distribusi curah hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tanaman kedelai sebenarnya cukup toleran terhadap cekaman kekeringan karena dapat bertahan dan berproduksi bila kondisi cekaman
2.3.3 Pupuk
Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu berproduksi dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik ataupun non-organik (mineral). Pupuk berbeda dari suplemen. Pupuk mengandung bahan baku yang diperlukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sementara suplemen seperti hormon tumbuhan membantu kelancaran proses metabolisme. Meskipun demikian, ke dalam pupuk, khususnya pupuk buatan, dapat ditambahkan sejumlah material suplemen. Dalam pemberian pupuk perlu diperhatikan kebutuhan tumbuhan tersebut, agar tumbuhan tidak mendapat terlalu banyak zat makanan. Terlalu sedikit atau terlalu banyak zat makanan dapat berbahaya bagi tumbuhan. Pupuk dapat diberikan lewat tanah ataupun disemprotkan ke daun. Salah satu jenis pupuk organik adalah kompos.
Macam-macam pupuk
Dalam praktek sehari-hari, pupuk biasa dikelompok-kelompokkan untuk kemudahan pembahasan. Pembagian itu berdasarkan sumber bahan pembuatannya, bentuk fisiknya, atau berdasarkan kandungannya.
1. Pupuk berdasarkan sumber bahan
Dilihat dari sumber pembuatannya, terdapat dua kelompok besar pupuk: (1) pupuk organik atau pupuk alami (bahasa Inggris: manure) dan (2) pupuk kimia atau pupuk buatan (Ing. fertilizer). Pupuk organik mencakup semua pupuk yang dibuat dari sisa-sisa metabolisme atau organ hewan dan tumbuhan, sedangkan pupuk kimia dibuat melalui proses pengolahan oleh manusia dari bahan-bahan mineral. Pupuk kimia biasanya lebih "murni" daripada pupuk organik, dengan kandungan bahan yang dapat dikalkulasi. Pupuk organik sukar ditentukan isinya, tergantung dari sumbernya; keunggulannya adalah ia dapat memperbaiki kondisi fisik tanah karena membantu pengikatan air secara efektif.
2. Pupuk berdasarkan bentuk fisik
Berdasarkan bentuk fisiknya, pupuk dibedakan menjadi pupuk padat dan pupuk cair. Pupuk padat diperdagangkan dalam bentuk onggokan, remahan, butiran, atau kristal. Pupuk cair diperdagangkan dalam bentuk konsentrat atau cairan. Pupuk padatan biasanya diaplikan ke tanah/media tanam, sementara pupuk cair diberikan secara disemprot ke tubuh tanaman.
3. Pupuk berdasarkan kandungannya
Terdapat dua kelompok pupuk berdasarkan kandungan: pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal mengandung hanya satu unsur, sedangkan pupuk majemuk paling tidak mengandung dua unsur yang diperlukan. Terdapat pula pengelompokan yang disebut pupuk mikro, karena mengandung hara mikro (micronutrients). Beberapa merk pupuk majemuk modern sekarang juga diberi campuran zat pengatur tumbuh atau zat lainnya untuk meningkatkan efektivitas penyerapan hara yang diberikan.
2.3.4 Pupuk UREA (SNI 02-2801-1998)
Spesifikasi
 Kadar air maksimal 0,50%
 Kadar Biuret maksimal 1%
 Kadar Nitrogen minimal 46%
 Bentuk butiran tidak berdebu
 Warna putih
 Dikemas dalam kantong bercap Kerbau Emas dengan isi 50 kg
Sifat Pupuk Urea
 Higroskopis
 Mudah larut dalam air
Spesifikasi teknis kedua macam pupuk Urea tersebut adalah sama hanya berbeda dalam hal ukuran butiran, dimana pupuk Urea Granul lebih besar dan mengandung lebih banyak anti cacking.
No. Spesifikasi Teknis Urea Prill Urea Granul
1 Kandungan Nitrogen 46 % (Minimal) 46 % (Minimal)
2 Ukuran Butiran 1 - 3,35 mm 2 - 4,75 mm
3 Kandungan Air 0,5 % (Maksimal) 0,5 % (Maksimal)
4 Biuret 0,5 % (Maksimal) 0,5 % (Maksimal)
5 Warna Putih dengan perlakuan anti cacking Putih dengan perlakuan anti cacking
6 Kemasan Dalam karung 50 kg atau curah Dalam karung 50 kg atau curah
Spesifikasi Teknis Urea Pupuk Kaltim

Pupuk Urea, disebut pupuk Nitrogen (N), memiliki kandungan nitrogen 46%. Urea dibuat dari reaksi antara amoniak dengan karbon dioksida alamsuatuproses kimia menjadi urea padat dalam bentuk prill (ukuran 1-3,35 mm) atau granul (ukuran 2-4,75 mm) yang keduanya diproduksi oleh Pupuk Kaltim. Urea prill paling banyak digunakan untuk tanaman pangan dan industri, sedangkan urea granul lebih cocok untuk tanaman perkebunan. Urea Pupuk Kaltim dipasarkan dan dijual kesektor domestik dengan menggunakan merk dagang Urea Daun Buah dan Urea Mandau. Produk Urea Pupuk Kaltim dalam perdagangan mematuhi standar SNI 02-2801-1998 (HS: 3102.10.00.00).

Manfaat Unsur Hara Nitrogen bagi tanaman :
Sebagai penyusun zat hijau daun (klorofil) yang sangat penting dalam proses fotosintesis tanaman dan membuat daun tanaman menjadi lebih hijau Mempercepat pertumbuhan vegetatif (pembentukan anakan, tinggi tanaman, lebar daun), panjang malai, jumlah gabah dll.
Meningkatkan kadar protein hasil panen tanaman. Bagian terpenting dari asam-asam amino, asam nucleat, dan klorofil

Gejala kekurangan unsur hara Nitrogen pada tanaman
 Seluruh tanaman berwarna pucat kekuningan
 Pertumbuhan tanaman lambat dan kerdil
 Daun tua berwarna kekuningan . Pada tanaman padi dimulai dari ujung daun menjalar ke tulang daun
 Pertumbuhan buah tidak sempurna seringkali masak sebelum waktunya
 Jika dalam keadaan kekurangan yang parah daun menjadi kering dimulai dari bagian bawah tanaman terus ke bagian atas tanaman





Anjuran penggunaan pupuk Urea pada beberapa tanaman dengan pemupukan berimbang (pupuk tunggal)
JENIS TANAMAN DOSIS (Kg/ha)
UREA SP 18 KCl
Padi 250 200 75
Jagung Hibrida 300-350 200-300 100
Kedelai 100-150 150-200 50-100
Kacang Tanah 100-150 200 50-100
Ubi kayu/Ubi Jalar 200-300 200-250 75-100
Bawang Merah/Bawang Putih 300-400 500-600 150-250
Kentang 400-500 600-700 200-300
Kubis 300-400 200-300 75-150
Tomat/Cabe 300-400 300-400 150-200
Wortel 300-400 200-300 100-150
Kacang Panjang/Buncis 100-150 150-200 50-100
Brokoli/Kol Bunga 200-300 200-300 75-150
Semangka/Melon 300-400 500-700 300-400
Jeruk, Apel, Anggur, Mangga 500-600 600-800 400-500
Catatan: Dosis dan komposisi pupuk NPK Pelangi disesuaikan dengan kondisi tanah setempat serta jenis tanaman yang dibudidayakan.





2.3.5 Hama Dan Penyakit Tanaman
Predator
Jenis predator yang banyak terdapat pada pertanaman kedelai dan bertindak sebagai predator imago penggerek polong adalah Lycosa sp., Oxyopes sp., Carabidae, Vespidae, Mantidae, Asylidae, Tettigonidae, dan Cycindelidae (Okada et al. 1988b). Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa Oxyopes javanus Thorell, Lycosa pseudoannulata, dan Rhinocoris sp. berpotensi dalam mengendalikan populasi imago E. zinckenella (Tengkano et al. 2002; Tengkano dan Bedjo 2004; Tengkano et al. 2004), dan Paederusfuscipes berpotensi mengendalikan larvainstar 1 (Tengkano dan Suharsono 2002).
Parasitoid Telur. Pada tahun 1992, beberapa spesies parasitoid telur Etiella spp., yaitu Trichogramma bactraebactrae Nagaraja dan T. chilonis dikoleksi dari Bogor dan Lampung, Trichogramma sp. A dari Bogor, dan Trichogramma sp. B dari Palembang. Selain itu, juga dilakukan introduksi dari PT Madukismo pada tahun 1993 sebanyak dua spesies, yaitu T. japonicum dan T. australiticum (Naito dan Djuwarso 1994). Menurut Naito dan Djuwarso (1994), kedua jenis parasitoid tersebut salah identifikasi dan T. minutum tidak ditemukan di Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa T. japonicum adalah Trichogrammatoidea sp. A dan T. australiticum adalah Trichogrammatoidea sp. B dan bukan berasal dari genus Trichogramma. Spesies T. bactrae-bactrae lebih banyak diteliti, terutama aspek biologi, cara pembiakan massal, dan pemanfaatannya pada pertanaman kedelai (Naito dan Djuwarso 1994; Djuwarso et al. 1997). Pelepasan T. bactrae-bactrae pada dosis sedang (1 juta ekor/ha) dengan tiga kali aplikasi cukup efektif dan efisien untuk mengendalikan penggerek polong (Marwoto 2001). T. bactrae-bactrae mampunmenyebar hingga 50 m dan pada radius 30 m dengan tingkat parasitasi masih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditentukan jarak antartitik pelepasan T. bactraebactrae, yaitu 10 m (Marwoto et al. 2002). Residu insektisida sihalotrin pada telur E. zinckenella menurunkan tingkat parasitasi T. bactrae-bactrae, namun tidak mempengaruhi waktu pemunculan dan jumlah imago yang keluar dari telur inang (Djuwarso et al. 1997). Untuk mempertahankan efektivitas parasitasi T. bactraebactrae, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif (Tengkano et al. 1992b).
Parasitoid Larva.
Parasitoid larva, yaitu Phanerotama hendecasisella Cam. Dan Agathis sp., tersebar luas di Pulau Jawa. Di Kebun Percobaan Kuningan juga ditemukan Chelonus sp. dan Bracon sp. A. Di Muneng terdapat Apanteles machaeralis Wlkn., Bracon sp. B dan Bracon sp. Di daerah Bondowoso dan Jember, Jawa Timur, banyak dijumpai Bracon greeni Ashm. Dari sekian banyak parasitoid larva, yang paling tinggi tingkat parasitasinya adalah P. hendecasisella, yaitu 5−18%, sedangkan parasitoid lainnya hanya 5% (Tengkano et al. 1991). Naito et al. (1994) melaporkan tujuh jenis parasitoid larva Etiella spp., yaitu Baeognatha javana,
Tanaman Inang
E. zinckenella
Salah satu faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan populasi penggerek polong di alam adalah ketersediaan tanaman inang. C. juncea merupakan tanaman introduksi dan inang bagi E. zinckenella (Mangundojo 1958).
Surjana (1992) melaporkan bahwa tanaman inang yang paling penting bagi E. zinckenella adalah C. striata. Tanaman ini banyak ditemukan sepanjang tahun di pantai utara Pulau Jawa dengan tingkat serangan 10% pada musim hujan dan 75%
pada musim kemarau. Hasil survei pada tahun 1987−1988 memberikan hasil yang sama, bahwa Etiella spp. ditemukan tidak saja pada tanaman kedelai, tetapi juga pada kacang gude lokal di Sumatera Barat; Crotalaria sp. di Minahasa; Crotalaria sp., Flemingia sp., dan kacang tanah di Papua (Okada et al. 1988b). Ruhendi dan Prasadja (1987) melaporkan bahwa penanaman kedelai secara tidak serempak menyebabkan makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan penggerek polong selalu tersedia dan berlimpah (Okada et al. 1988b). Jenis tanaman inang lainnya adalah C. usaramoensis, Cassia sp., kacang hijau, kacang tanah, Dolichos lab-lab, kacang tunggak,
Pertumbuhan tanaman kedelaiyang optimal tidak akan mempunyai produktivitas yang baik bila hama dan penyakit tidak dikendalikan dengan baik. Berikut adalah hama-hama yang terdapat di lahan kedelai dan upaya pengendaliannya :

1. Aphis spp. (Aphis glycine)
Kutu dewasa ukuran kecil 1-1,5 mm berwarna hitam, ada yang bersayap dan tidak. Kutu ini dapat dapat menularkan virus SMV (Soybean Mosaik Virus). Menyerang pada awal pertumbuhan dan masa pertumbuhan bunga dan polong. Gejala : layu, pertumbuhannya terhambat. Pengendalian : (1) menanam kedelai pada waktunya, mengolah tanah dengan baik, bersih, memenuhi syarat, tidak ditumbuhi tanaman inang seperti: terung-terungan, kapas-kapasan atau kacang-kacangan; (2) membuang bagian tanaman yang terserang hama dan membakarnya; (3) menggunakan musuh alami (predator maupun parasit); (4) penyemprotan insektisida dilakukan pada permukaan daun bagian atas dan bawah.
2. Melano Agromyza phaseoli; ukuran kecil sekali (1,5 mm)
Lalat bertelur pada leher akar, larva masuk ke dalam batang memakan isi batang, kemudian menjadi lalat dan bertelur. Lebih berbahaya bagi kedelai yang ditanam di lading
Berikut adalah macam-macam penyakit yang terdapat di lahan kedelai dan upaya pengendaliannya :
1. Penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum)
Penyakit ini menyerang pangkal batang. Penyerangan pada saat tanaman berumur 2-3 minggu. Penularan melalui tanah dan irigasi. Gejala: layu mendadak bila kelembaban terlalu tinggi dan jarak tanam rapat. Pengendalian: (1) biji yang ditanam sebaiknya dari varietas yang tahan layu dan kebersihan sekitar tanaman dijaga, pergiliran tanaman dilakukan dengan tanaman yang bukan merupakan tanaman inang penyakit tersebut. Pemberantasan: belum ada.
2. Penyakit layu (Jamur tanah : Sclerotium rolfsii)
Penyakit ini menyerang tanaman umur 2-3 minggu, saat udara lembab, dan tanaman berjarak tanam pendek. Gejala: daun sedikit demi sedikit layu, menguning. Penularan melalui tanah dan irigasi. Pengendalian: (1) varietas yang ditanam sebaiknya yang tahan terhadap penyakit layu; (2) menyemprotkan Dithane M 45, dengan dosis 2 gram/liter air. 3. Penyakit lapu (Witches Broom: Virus) Penyakit ini menyerang polong menjelang berisi. Penularan melalui singgungan tanam karena jarak tanam terlalu dekat. Gejala: bunga, buah dan daun mengecil. Pengendalian: menyemprotkan Tetracycline atau Tokuthion 500 EC
4. Penyaklit karat (Cendawan Phachyrizi phakospora)
Penyakit ini menyerang daun. Penularan dengan perantaraan angina yang menerbangkan dan menyebarkan spora. Gejala: daun tampak bercak dan bintik coklat. Pengendalian: (1) cara menanam kedelai yang tahan terhadap penyakit; (2) menyemprotkan Dithane M 45.
5. Penyakit bercak daun bakteri (Xanthomonas phaseoli)
Penyakit ini menyerang daun. Gejala: permukaan daun bercak-bercak menembus ke bawah. Pengendalian: menyemprotkan Dithane M 45.
6. Penyakit busuk batang (Cendawan Phytium sp.)Penyakit ini menyerang batang. Penularan melalui tanah dan irigasi.Gejala: batang menguning kecokllat-coklatan dan basah, kemudianmembusuk dan mati. Pengendalian: (1) memperbaiki drainase lahan;(2) menyemprotkan Dithane M 45




















III. METODE PRAKTIKUM


3.1 Ruang Lingkup Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan lahan vegetasi Tanaman fakultas Pertanian Universitas jambi. Adapun pemilihan tempat ini didasarkan atas pertimbangan,pengalaman yang sering di gunakan sebagai kebun percobaan tanaman kacang-kacangan bahwa di lahan vegetasi tanaman ini merupakan salah satu tempat penyebaran mahasiswa dan mahasiswi melakukan percobaan serta merupakan sentra praktikum dosen-dosen fakultas pertanian.
Benih kedelai varietas Jaya Wijaya ditanam dengan jarak tanam 20x40 cm. Pemupukan menggunakan Urea 90 kg/ha yang diberikan 2/3 saat tanam dan 1/3 pada 21 HST atau bersamaan dengan penanaman benih yang ssudah bertunas. Pupuk TSP 100 kg/ ha serta KCl 100 kg/ha diberikan 2/3 saat tanam dan 1/3 saat penanaman benih kedelai. Kedelai varietas Jaya Wijaya (jaya wijaya).
Adapun data yang diperlukan dalam praktikum ini adalah :
• Penerapan tekhnologi pertanian, yakni pengolahan tanah, penggunaan bibit unggul, irigasi, pemupukan dan perlindungan tanaman,
• Memperhatikan tinggi tanaman,jumlah daun,cabang Primer,serta jumlah polong,dan berat sampel pertanaman .
• Mengetahui pengaruh pertumbuhan per Varietas ,terhadap pemberian pupuk.

Metode Pengambilan Sampel
Data yang dikumpulkan terdiri dari data pertama kali pertumbuhan dan terakhir masa panen di lakukan. Data yag diperoleh dari hasil percobaan mahasiswa fakultas pertanian universitas Jambi angkatan 2008, sebagai hasil praktikum dari materi yang di pelajari dengan cara pengumpulan data melalui praktikum langsung dengan dibantu penanaman atau praktikum yang di lakukan di lapangan vegetasi tanaman Fakultas Pertanian Universitas jambi.



3.2 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari sabtu, 10 Oktober 2009 sampai dengan 2 januari 2010. Dilaksanakan di lahan percobaan fakultas pertanian universitas jambi, Jl. Mendalo Darat KM 15 Jambi 36361, Desa Mendalo, Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

3.3 Prosedur Pelaksanaan Praktikum
Prosedur pelaksanaan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan lahan
Dalam mempersiapkan lahan untuk menanam kedelai yang dilakukan adalah membersihkan areal lahan dan membuat petakan tanam yang berukuran 1 m × 2,5 m, lalu pada petakan tersebut ditaburkan pupuk kandang sebagai pupuk dasarnya. Persiapan lahan ini dilaksanakan pada tanggal 10 Oktober 2009.
b. Penanaman benih kedelai
Benih kedelai yang ditanam adalah benih kedelai varietas Tanggamus dengan populasi dua (setiap lubang tanam diberikan dua benih). Namun setelah benih tumbuh menjadi tanaman, satu tanaman dipotong sehingga populasinya menjadi satu tanaman setiap lubang. Benih ditanam dengan jarak 20 cm × 40 cm. Penanaman benih ini dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 2009.

c. Pemberian pupuk (pemupukan)
Pemberian pupuk dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tahap pertama pupuk yang diberikan adalah pupuk urea dan TSP, dan pada tahap kedua pupuk yang diberikan adalah pupuk KCl. Pupuk urea dan TSP diberikan pada saat tanaman kedelai berumur 3 minggu yaitu pada tanggal 7 November 2009. Dosis pupuk urea yang diberikan adalah 15 gr/petakan dan dosis pupuk TSP yang diberikan adalah 50 gr/petakan. Sedangkan pupuk KCl diberikan pada saat tanaman kedelai berumur 4 minggu yaitu pada tanggal 14 November 2009 dengan dosis pupuk 37,5 gr/petakan.
d. Perawatan dan pengamatan pertumbuhan tanaman kedelai
Perawatan tanaman kedelai dilakukan selama praktikum mulai dari penanaman benih sampai sebelum panen. Perawatan yang dilakukan adalah penyiraman tanaman, pemupukan, dan penyemprotan insektisida. Sedangkan pengamatan pertumbuhan tanaman kedelai dilakukan satu minggu sekali setiap hari Sabtu dimulai sejak tanaman kedelai berumur 2 minggu sampai tanaman berumur 11 minggu. Parameter yang diamati dalam praktikum ini adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah polong, jumlah cabang primer, dan berat polong yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan pada 5 sampel tanaman yang telah dipilih secara acak.
e. Pemanenan
Pemanenan dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 11 minggu yaitu pada tanggal 2 Januari 2010. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut tanaman lalu dipangkas daunnya dan diambil polongnya. Lalu polong pada tanaman sampel hasil panen ditimbang berat basahnya.


















3.4 Bahan dan Alat
Adapun bahan yang di yang di gunakan dalam praktikum ini adalah:
 Benih Kedelai
 Pupuk Kandang
 Pupuk UREA
 Pupuk KCL
 Pupuk TSP
 Air
 Petisida

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:

• Cangkul
• Parang
• Tali Rapiah
• Bambu
• Meteran
• Mistar
• Buku dan Pulpaen
• Gunting
• Kantong Plastik
• Papan Nama kelompok
• Gembor
• Alat Tulis







IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil pengamatan ptaktikum dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada tiap minggu adalah sebagai berikut :

1. Pengamatan I (31 Oktober 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 2 setelah tanaman kedelai di tanam.
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai)
A B A B
1 10 10 7 8
2 13 12 8 5
3 11 12,5 5 5
4 12 14 5 8
5 10,5 11 5 5

2. Pengamatan II (7 November 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 3 setelah tanaman kedelai di tanam.
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai)
A B A B
1 25,5 31,5 13 17
2 26,5 24,2 14 10
3 21,5 24,5 10 14
4 19 21 8 8
5 19,5 17,5 11 8





3. Pengamatan III (14 November 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 4 setelah tanaman kedelai di tanam.
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai)
A B A B
1 37 41 22 37
2 38 32 26 16
3 33 38 19 26
4 22 25 11 14
5 23,5 28 12 12

4. Pengamatan IV (21 November 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 5 setelah tanaman kedelai di tanam.
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai)
A B A B
1 49 55 46 67
2 53 47 50 30
3 46 57 42 65
4 34 36 17 20
5 41 38 21 22









5. Pengamatan V (28 November 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya 6 minggu setelah tanaman kedelai di tanam. Pada minggu keenam ini tanaman kedelai sudah memasuki stadia pertumbuhan reproduktif (generatif).
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai) Jumlah cabanag primer Keterangan
A B A B A B
1 68 73,5 67 96 15 19 Sudah terbentuk bunga
2 71,5 61 85 44 18 12 Sudah terbentuk bunga
3 64,5 66,5 65 87 13 22 Sudah terbentuk bunga
4 46,5 46 28 28 5 6 Sudah terbentuk bunga
5 51 50 24 19 4 4 Sudah terbentuk bunga


6. Pengamatan VI (5 Desember 2009)
Pengukuran tinggi dan jumlah daun tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 7 setelah tanam.
Sampel Tinggi (cm) Jumlah Daun (helai) Jumlah cabanag primer Keterangan
A B A B A B
1 78 82 88 132 15 19 Masih berbunga
2 80,5 72 110 99 18 12 Masih berbunga
3 71 77 89 104 13 22 Masih berbunga
4 56 58 54 49 5 6 Masih berbunga
5 58 55 25 21 4 4 Masih berbunga






7. Pengamatan VII (12 Desember 2009)
Pengamatan jumlah polong yang terbentuk dan banyaknya cabang primer pada tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 8 setelah tanam. Pada minggu kedelapan ini polong masih belum berisi (bernas).
Sampel Tinggi (cm) Jumlah cabanag primer Jumlah polong Keterangan
A B A B A B
1 81 93 15 19 65 54 Ada polong
2 94 80 18 12 58 54 Ada polong
3 80 82 13 22 61 49 Ada polong
4 72 75 7 9 5 2 Ada polong
5 69 59 8 7 - - Masih berbunga

8. Pengamatan VIII (19 Desember 2009)
Pengamatan jumlah polong yang terbentuk dan banyaknya cabang primer pada tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 9 setelah tanam. Pada minggu kesembilan ini polong sudah mulai ada yang berisi (bernas).

Sampel Jumlah cabanag primer Jumlah polong
A B A B
1 15 19 109 163
2 18 12 164 86
3 13 22 98 143
4 7 9 56 37
5 8 7 4 13





9. Pengamatan IX (26 Desember 2009)
Pengamatan jumlah polong yang terbentuk dan banyaknya cabang primer pada tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada minggu 10 setelah tanam. Pada minggu kesepuluh ini polong sudah berisi (bernas) tapi belum siap panen
Sampel Jumlah cabanag primer Jumlah polong
A B A B
1 15 19 145 272
2 18 12 270 118
3 13 22 135 137
4 7 9 107 74
5 8 7 9 23

Panen Pemungutan hasil kedelai dilakukan pada saat tidak hujan, agarhasilnya segera dapat dijemur.
• Pemungutan dengan cara mencabutSebelum tanaman dicabut, keadaan tanah perlu diperhatikanterlebih dulu. Pada tanah ringan dan berpasir, proses pencabutanakan lebih mudah. Cara pencabutan yang benar ialah denganmemegang batang poko, tangan dalam posisi tepat di bawahranting dan cabang yang berbuah. Pencabutan harus dilakukandengan hati-hati sebab kedelai yang sudah tua mudah sekali rontokbila tersentuh tangan.
• Pemungutan dengan cara memotongAlat yang biasanya digunakan untuk memotong adalah gunting yang cukup tajam, sehingga tidak terlalu banyak menimbulkangoncangan. Di samping itu dengan alat pemotong yang tajam,pekerjaan bisa dilakukan dengan cepat dan jumlah buah yang rontok akibat goncangan bisa ditekan. Pemungutan dengan caramemotong bisa meningkatkan kesuburan tanah, karena akardengan bintil-bintilnya yang menyimpan banyak senyawa nitrattidak ikut tercabut, tapi tertinggal di dalam tanah. Pada tanah yangkeras, pemungutan dengan cara mencabut sukar dilakukan, makadengan memotong akan lebih cepat.


10. Pengamatan X (2 Januari 2010)
Pemanenan tanaman kedelai varietas jaya wijaya pada umur 11 minggu atau minggu terakhir dan penimbangan berat polong hasil panen tanaman kedelai.

Sampel Jumlah cabanag primer Jumlah polong Berat Polong (grm)
A B A B A B
1 15 19 112 288 65 150
2 18 12 369 166 210 165
3 13 22 107 342 60 100
Jumlah
46 52 588 796 335 415


















4.2. Pembahasan
4.2.1. Luas Petakan dan Jarak Tanam
Petakan tanam yang dibuat dalam praktikum ini berukuran 1 m × 2,5 m. Jadi luas petakan tanamnya adalah 2,5 m2. Dalam penanaman, jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm × 40 cm dan populasi tanaman setiap lubang tanam adalah satu populasi (P2V2) sehingga dalam satu petakan tedapat 30 tanaman kedelai varietas jaya wijaya.









Keterangan :
× = tanaman kedelai
a = 20 cm
b = 40 cm
4.2.2. Penggunaan Pupuk
Dalam praktikum ini pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang sebagai pupuk dasar, pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk KCl. Dosis yang digunakan untuk masing-masing pupuk tesebut adalah sebagai berikut :
1. Pupuk kandang
Pupuk kandang diberikan satu minggu sebelum menanam benih kedelai, yaitu setelah pembukaan lahan pada tanggal 10 Oktober 2009. Dosis pupuk kandang yang digunakan dalam praktikum ini adalah 8 ton/Ha. Jadi pupuk kandang yang digunakan dalam satu petakan adalah sebagai berikut :
Pupuk kandang yang digunakan = = 2 kg/petakan

2. Pupuk Urea
Pupuk urea diberikan pada saat tanaman kedelai berumur 3 minggu, yaitu pada tanggal 7 November 2009. Dosis pupuk urea yang digunakan dalam praktikum ini adalah 60 Kg/Ha. Jadi pupuk urea yang digunakan dalam satu petakan adalah sebagai berikut:
Urea yang digunakan = = 15 gr/petakan
= = 0,5 gr/tanaman
3. Pupuk TSP
Pupuk TSP diberikan bersamaan dengan pupuk urea pada saat tanaman kedelai berumur 3 minggu, yaitu pada tanggal 7 November 2009. Dosis pupuk TSP yang digunakan dalam praktikum ini adalah 200 Kg/Ha.
Jadi pupuk TSP yang digunakan dalam satu petakan adalah sebagai berikut:
TSP yang digunakan = = 50 gr/petakan
= = 1,67 gr/tanaman
4. Pupuk KCl
Pupuk KCl pada saat tanaman kedelai berumur 4 minggu, yaitu pada tanggal 14 November 2009. Dosis pupuk KCl yang digunakan dalam praktikum ini adalah 150 Kg/Ha. Jadi pupuk KCl yang digunakan dalam satu petakan adalah sebagai berikut:
KCl yang digunakan = = 37,5 gr/petakan
= = 1,25 gr/tanaman
4.2.3. Pengamatan Tanaman Kedelai per Minggu
Dari hasil pengamatan pertama sampai dengan pengamatan yang terakhir yaitu sampai tanaman kedelai berumur 5 minggu dapat dilihat bahwa tanaman kedelai masih pada berumur/stadia pertumbuhan vegetatif yang ditandai dengan bertambahnya tinggi tanaman dan jumlah daun yang terbentuk. Pada stadia ini seluruh makanan yang dibentuk oleh tanaman kedelai melalui proses fotosintesis digunakan oleh tanaman tersebut untuk memacu pertumbuhan batang dan pembentukan daun.
Dari hasil pengamatan yang kelima yaitu setelah tanaman kedelai berumur 6 minggu, tanaman ini sudah memasuki stadia pertumbuhan reproduktif (generatif) yang ditandai dengan terbentuknya bunga pada setiap tanaman. Pada stadia ini, makanan hasil fotosintesis sebagian besar digunakan untuk memacu pembentukan bunga dan polong sehingga pertambahan tinggi dan jumlah daun tidak nampak lagi.
Pada minggu ketujuh (pengamatan VI), pada empat tanaman sampel sudah terbentuk polong tetapi masih kecil dan satu tanaman sampel yang lain masih dalam keadaan berbunga.
Pada minggu kedelapan (pengamatan VII), pada semua tanaman sampel sudah terbentuk polong , ada empat tanaman sampel yang sudah berisi tetapi ada satu belum ada yang berisi (bernas). Dan pada minggu kesembilan (pengamatan VIII), polong yang terbentuk bertambah banyak dan juga bertambah besar dan sudah ada polong yang berisi (bernas). Pada minggu kesepuluh (pengamatan IX), semua polong yang terbentuk sudah berisi biji (bernas) tetapi masih terlalu muda untuk dipanen,tetapi ada dua sampel yang terserang penyakit,daunnya kekuning-kuningan,dan gugur.. Dan pada minggu kesebelas (pengamatan X), polong kedelai yang terbentuk sudah cukup tua dan siap dipanen untuk ukuran konsumsi (kedelai rebus). Sehingga pemanenan dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 11 minggu.
4.2.4. Hasil Panen Tanaman Kedelai
Pemanenan tanaman kedelai dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 11 minggu. Dari hasil panen tersebut yang diukur adalah berat basah polong kedelai,serta jumlah polong pertanaman yang diambil dari tiga sampel yang s dihasilkan. Dan berat polong hasil panen tersebut berbeda antara tanaman sampel yang satu dengan tanaman sampel yang lainnya. Berat basah polong kedelai dari masing-masing tanaman sampel adalah sebagai berikut :


1. Tanaman sampel 1 menghasilkan berat polong,dan jumlah polong .
Jumlah Polong Berat(grm)
A B A B
112 288 65 150
Gambar 1
2. Tanaman sampel 2 menghasilkan berat polong ,dan jumlah polong.
Jumlah Polong Berat(grm)
A B A B
369 166 210 165
Gambar 2
3. Tanaman sampel 3 menghasilkan polong ,dan jumlah polong
Jumlah Polong Berat(grm)
A B A B
107 342 60 100
Gambar 3
Dari data di atas jumlah berat basah dari kelima tanaman sampel tesebut adalah 870 gram. Sehingga rata-rata berat basah per tanaman dapat diketahui dengan cara penghitungan sabagai berikut :
Rata-rata berat basah ( ) per tanaman =
=
= 125 gr/tanaman











4.3. Kesimpulan
Dari hasil dan pengamatan dilapangn praktikum di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tanaman kedelai varietas jaya wijaya menghasilkan berat basah polong pertanaman 125grm/tanaman.
2. Jumlah populasi tanaman dalam petakan mempengaruhi jumlah hasil panen tanaman kedelai.
3. Pemupukan juga berpengaruh dalam meningkatkan hasil produksi tanaman kedelai.
4. Tanaman kedelai varietas jaya wijayas memiliki stadia pertumbuhan vegetatif sampai pada umur 5 minggu dan mulai memasuki stadia pertumbuhan reproduktif (generatif) pada umur 6 minggu.
5. Tanaman kedelai varietas jaya wijaya memiliki sifat rentan terhadap penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

_________. 2009. Budidaya Tanaman Kedelai. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/budidaya_tanaman_kedelai.pdf.
_________. 2009. Kedelai. http://id.wikipedia.org/wiki/Kedelai.
_________. 2009. Pupuk. http://id.wikipedia.org/wiki/Pupuk.
Samsuddin. 1997. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. PT. Bina Cipta Bandung.
Zuchri dan Mutiara. R. 1998. Program Penyuluhan Pertanian. Ektensia Volume 6 Tahun. V. Jakarta